Eks Petinggi HIPMI Lampung Lolos Jerat Hukum Narkoba: Ada yang Ditutup-tutupi?
Kompastuntas.com— Bandar Lampung, malam itu, Kamis 28 Agustus 2025, sekitar pukul delapan, tim Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Lampung menggerebek sebuah ruang karaoke di Hotel Grand Mercure, Bandar Lampung. Musik berhenti mendadak.
Puluhan gelas minuman berserakan, lampu diskotik masih berkedip, dan di meja ditemukan butiran ekstasi.
Dari penggerebekan itu, 12 orang diamankan. Tujuh pria dan lima pemandu lagu. Hasil tes urine mereka seluruhnya positif narkoba. Tapi, beberapa hari kemudian, publik terkejut. Sebagian dari mereka yang diketahui mantan pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Lampung dilepas begitu saja tanpa sidang.
Asesmen Kilat
BNNP Lampung berdalih pelepasan dilakukan berdasarkan hasil asesmen rehabilitasi. Sumber internal BNNP yang ditemui Tempo menyebut asesmen dilakukan cepat, hanya hitungan jam setelah penangkapan.
“Padahal, biasanya asesmen itu melibatkan tujuh institusi dan memakan waktu beberapa hari,” kata sumber itu, yang meminta namanya tak dicantumkan.
Kecepatan asesmen itulah yang membuat banyak pihak curiga. Dosen Hukum Pidana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Dr. Dwi Putri Melati, menegaskan langkah BNNP Lampung itu janggal. “Rehabilitasi bukan berarti proses hukum berhenti. Yang berhak menentukan status akhir itu hakim, bukan BNN,” ujarnya.
Menurut Putri, dasar hukum yang dipakai, yakni SEMA Nomor 04 Tahun 2010, tidak bisa dijadikan legitimasi untuk melepas para pengguna. Apalagi, Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 jelas menyatakan pengguna narkoba tetap dapat dipidana.
“Kalau alasannya rehabilitasi, mestinya tetap ada proses hukum yang berjalan paralel,” kata dia.
Nama Besar, Perlakuan Spesial
Daftar mereka yang diamankan malam itu bukan nama kecil. Ada M. Randy Pratma dan Saputra Akbar Wijaya Hartawan, keduanya pengusaha muda di Bandar Lampung. Riga Marga Limba, yang beralamat di Jakarta, juga tercatat aktif dalam sejumlah kegiatan HIPMI. Ada juga William Budionan, Septiansyah, dan seorang karyawan swasta bernama Zikri Chandra Agustia.
Mereka ditemani lima wanita muda yang berprofesi sebagai pemandu lagu. Seluruhnya diduga ikut menelan ekstasi malam itu.
Namun, menurut keterangan resmi BNNP Lampung, hanya 11 orang yang diamankan enam pria dan lima wanita. Satu orang lagi, berinisial BRT, pemilik tas berisi 20 butir ekstasi, disebut berhasil melarikan diri. Polisi hanya menemukan sisa tujuh butir pil. BRT kini masuk Daftar Pencarian Orang (DPO).
Keanehan muncul karena tidak ada kejelasan siapa sebenarnya BRT. Beberapa narasumber menyebut ia orang dekat seorang pengusaha besar di Lampung. “Nama itu sengaja tidak diungkap ke publik. Seperti ada yang ditutup-tutupi,” kata salah seorang pejabat penegak hukum di Bandar Lampung.
Bayang Intervensi
Keputusan BNNP Lampung melepaskan para pengurus HIPMI itu memperkuat dugaan adanya intervensi. Publik menduga status sosial mereka sebagai pengusaha muda dengan jaringan politik luas memberi “perisai” dari jerat hukum.
Apalagi, menurut Surat Keputusan Bersama (SKB) BNN, BKN, dan KASN tahun 2020, rehabilitasi hanya bisa dilakukan setelah penyidikan berjalan. Artinya, pengguna tetap harus diproses hukum terlebih dahulu sebelum opsi rehabilitasi diberikan.
“Kalau dilepas begitu saja, ini pelanggaran prosedur. Sama saja mencabut peran jaksa dan hakim,” kata Putri.
Kasus ini juga menyingkap wajah ganda penegakan hukum narkotika di Indonesia. Para pengguna kecil, buruh, atau mahasiswa kerap digelandang hingga vonis penjara. Tapi, ketika menyentuh lingkaran elite pengusaha atau organisasi bergengsi, proses hukum seolah bisa dilipat dengan mudah.
Publik Menunggu Jawaban
Hingga kini, belum ada penjelasan terbuka dari BNNP Lampung soal dasar pelepasan eks pengurus HIPMI tersebut. Penelusuran Tempo menemukan adanya perbedaan data jumlah tersangka, barang bukti yang tidak jelas, hingga status BRT yang menguap tanpa kejelasan.
Pertanyaan publik pun menguat: apakah kasus narkoba ini ditegakkan berdasarkan hukum, atau dinegosiasikan berdasarkan siapa yang terlibat?
Editor : Hengki Utama