Abolisi Lembong, Amnesti Hasto Dan Prabowo Menepis Bayang Jokowi
Kompastuntas.com— Jakarta, Presiden Prabowo Subianto baru seumur jagung duduk di Istana, namun gebrakannya mulai terasa seperti palu yang menghantam meja warisan kekuasaan lama. Di akhir Juli 2025, ia menandatangani dua keputusan politik yang membuat publik terbelalak abolisi untuk Tom Lembong, eks menteri Jokowi yang diseret kasus impor, dan amnesti untuk Hasto Kristiyanto, sekjen partai banteng yang nyaris dilumat KPK di ujung masa pemerintahan sebelumnya.
Bukan sekadar pengampunan. Ini seperti tamparan lembut ke wajah Presiden sebelumnya Joko Widodo yang dalam lima tahun terakhir membiarkan hukum menjalar ke ruang-ruang politik dengan tafsir ganda.
“Prabowo sedang membalikkan papan catur. Ini lebih dari rekonsiliasi, ini sinyal bahwa ia bukan boneka,” kata Prof. Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum konstitusi Universitas Indonesia, kepada awak media
Langkah Politik yang Berkalkulasi
Dalam hitungan hari, dua nama besar oposisi Jokowi yang sebelumnya “dikunci” oleh aparat penegak hukum, kini bebas melenggang. Tom Lembong dibebaskan dari seluruh proses hukum melalui abolisi. Hasto mendapat amnesti, meski sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dan ditahan secara cepat.
Keduanya memiliki benang merah berseberangan dengan Presiden Jokowi dalam banyak sikap politik baik dalam isu ekonomi strategis maupun lobi-lobi internal Pilpres 2024.
“Ini bukan kebetulan. Ini bentuk perlawanan halus terhadap apa yang kita sebut sebagai legacy politik Jokowi,” kata Sri Yunanto, analis politik Universitas Indonesia.
Menurut dia, Prabowo mengirimkan pesan bahwa ia akan memimpin dengan pakem sendiri. Bahwa mesin politik, termasuk hukum, akan diarahkan menurut kompas baru.
Pertarungan Warisan
Lembong selama ini dikenal sebagai suara keras yang menolak model ekonomi oligarki berbasis konsesi yang tumbuh subur di era Jokowi. Di saat bersamaan, Hasto adalah simbol dari PDIP yang terpinggirkan pasca keputusan Megawati mencalonkan Ganjar–Mahfud tanpa restu Jokowi.
Prabowo, dengan dua pena pengampunan ini, tidak hanya menyelamatkan dua figur. Ia membongkar narasi hukum warisan Jokowi, bahwa siapa pun yang berseberangan akan dilibas entah oleh kejaksaan atau KPK.
“Ini pembalikan arah. Kalau dulu hukum dibungkus dalam narasi stabilitas, sekarang kekuasaan baru sedang membuka simpul lama,” ucap Dr. Bivitri Susanti, pengajar hukum tata negara di Sekolah Tinggi Hukum Jentera.
Ia menambahkan, keputusan ini legal, tapi tidak netral. Legalitas bukan jaminan bahwa prosesnya bebas dari muatan politik.
KPK, Kunci yang Dipatahkan?
Tak pelak, langkah Prabowo memantik kegeraman dari barisan antikorupsi. Novel Baswedan, eks penyidik senior KPK, menyebut keputusan ini sebagai preseden memalukan.
“Ini hancurkan semangat pemberantasan korupsi. Kasus Harun Masiku bukan semata soal hukum, tapi soal nyali. Sekarang nyalinya dimatikan dengan pena kekuasaan,” kata Novel.
Publik pun bertanya bagaimana mungkin seorang tersangka bisa diberi amnesti, padahal proses hukum belum tuntas? Jawabannya tersembunyi dalam satu kata politik.
Rekayasa atau Rekonsiliasi?
Langkah Prabowo dilabeli “rekonsiliasi” oleh koalisi dan elit parlemen. Tapi banyak yang membaca ini sebagai penataan ulang loyalitas. Dalam waktu singkat, Hasto yang selama ini dianggap orang Megawati tiba-tiba mengendorkan kritik terhadap Prabowo. Di sisi lain, Tom Lembong disebut-sebut akan masuk ke dalam dewan penasihat ekonomi nasional.
Bahkan sumber Tempo di lingkaran dalam PDIP menyebut, “Ini bukan pengampunan. Ini penarikan tokoh-tokoh penting ke orbit Prabowo.”
Akhir dari Politik Sandera?
Bagi masyarakat awam, keputusan ini memunculkan harapan sekaligus kecurigaan. Harapan bahwa penegakan hukum tak lagi jadi alat sandera politik. Tapi juga kecurigaan bahwa hukum makin lentur jika yang bersangkutan dekat dengan lingkaran kekuasaan.
“Jika amnesti dan abolisi dijadikan alat politis, maka ke depan, semua bisa dinegosiasi. Ini sangat berbahaya,” ucap Zainal dari UI dengan nada tajam.
Kesimpulannya, Dua tanda tangan di atas kertas negara telah mengubah banyak hal. Prabowo kini bukan lagi presiden transisi, bukan pula penerus Jokowi. Ia sudah menandai wilayahnya, dengan tinta kekuasaan yang menyatakan ini eraku, dengan hukum yang aku kendalikan.
Namun di balik semua itu, muncul pertanyaan yang lebih besar
Akankah rakyat percaya pada hukum yang lentur, atau pada kekuasaan yang mampu mengatur hukum?
Editor : Hengki Utama