Mbah Sami Tewas Diterkam Beruang: Nestapa di Kebun Kopi Way Kanan
Kompastuntas.com— Way Kanan, 17 Juni 2025. Langit mendung menyelimuti Kampung Banjar Sari, Baradatu. Di tengah sunyi kebun kopi yang menghijau di Campang, Tiuh Balak 2, sebuah kabar duka mengguncang warga. Mbah Sami, 70 tahun, ditemukan tewas dengan tubuh bersimbah luka. Ia diserang seekor beruang liar saat tengah memanen kopi di kebun miliknya—pekerjaan yang digelutinya sejak muda hingga senja.
Jeritan terakhirnya sempat terdengar lirih dari kejauhan, memecah sunyi rimba pagi. Sejumlah warga berlari ke arah suara, namun yang mereka dapati adalah sesosok tubuh renta yang telah diam, dan jejak beruang yang baru saja menghilang ke dalam hutan.
Mbah Sami bukan sekadar petani tua. Ia simbol ketekunan di kaki bukit Gunung Labuhan. Sosok yang, meski raganya mulai ringkih, masih menggenggam tajuk pohon kopi dengan tangan keriput yang tak mengenal lelah. Takdir tragisnya membuka kembali lembar kelam tentang konflik manusia dan satwa liar yang belum terselesaikan.
Kapolsek Baradatu, bersama aparat dan tim gabungan, telah turun ke lokasi. Garis polisi dipasang, saksi diperiksa, dan area kebun kini dijaga ketat. Kepala BPBD Way Kanan, Suprianto, membenarkan insiden ini. Ia menyebut koordinasi telah dilakukan dengan pihak kepolisian dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung untuk menyelidiki asal muasal kemunculan beruang yang diduga keluar dari habitatnya.
“Kami menerima laporan ada warga tewas akibat serangan satwa liar. Tim BKSDA dijadwalkan hari ini meninjau lokasi,” ujar Suprianto kepada wartawan.
Insiden ini menambah daftar panjang konflik ruang hidup antara manusia dan satwa liar di kawasan penyangga hutan Sumatra. Pembukaan lahan, tekanan terhadap hutan, dan lemahnya pengawasan menjadi sebab-mula yang terus diabaikan.
Pemerintah daerah mengaku telah memberi pendampingan pada keluarga korban, serta menjanjikan upaya pencegahan agar kejadian serupa tak terulang. Namun janji ini terdengar seperti gema lama: datang setiap ada korban, lalu menguap bersama kabut pagi.
Mbah Sami telah pergi, membawa serta kisah getir yang barangkali akan dilupakan begitu musim panen berganti. Tapi bagi warga Gunung Labuhan, kematian itu bukan sekadar tragedi. Ia adalah peringatan keras: bahwa alam yang dilukai, bisa menggigit balik kapan saja.
Penulis : Ridwan
Editor : Hengki Irawan