Kasus LEB Mandek di BPKP Rp271 Miliar Jadi Sandera, PAD Lampung Nyaris Lumpuh
Kompastuntas.com— Bandar Lampung, sudah delapan bulan penyidikan berjalan, puluhan miliar uang rakyat dibekukan, aset disita, dua BUMD nyaris lumpuh. Namun satu hal tak kunjung datang hitungan kerugian negara dari BPKP Lampung. Kasus korupsi dana Participating Interest (PI) 10% dari PT PHE OSES di PT Lampung Energi Berjaya (LEB) kini tak ubahnya drama hukum tak berkesudahan.
Dan yang paling menyakitkan proses hukum yang mandek justru disebabkan oleh institusi pengawasan yang seharusnya mendukung pemberantasan korupsi.
Menunggu BPKP Seperti Menunggu Tuhan Turun Tangan
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung menyatakan pihaknya sudah siap melanjutkan proses. Tapi lidah kejaksaan mendadak kelu tersangka belum ditetapkan karena kerugian negara belum selesai dihitung.
“Sudah dua bulan kita tunggu hasil BPKP,” kata Aspidsus Kejati Lampung, Armen Wijaya. “Kalau sudah keluar, baru kita lanjut.” Itu artinya, seluruh proses hukum kini tersandera di meja penghitungan BPKP.
Pertanyaan mengemuka apa yang sebenarnya dihitung selama dua bulan lebih itu? Padahal, penyidik sudah menyita uang tunai, mata uang asing, kendaraan, dan dokumen yang total nilainya lebih dari Rp84 miliar. Bahkan dana PI sebesar Rp59 miliar dari PT LJU dan Rp23 miliar dari PT LEB diblokir. Jumlah total uang yang sudah dibekukan Rp82 miliar.
Jika aset sudah disita, dokumen sudah dikantongi, uang sudah diblokir, lalu mengapa BPKP belum juga rampung menghitung?
Kerugian Hukum, Kerugian Ekonomi
Lambannya proses BPKP tak hanya memukul jalannya hukum. Dampaknya jauh lebih dalam mengguncang perekonomian daerah. Dua BUMD yang bersinggungan langsung dengan proyek PI itu kini terjebak dalam kelumpuhan finansial. Dalam laporan resmi Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Provinsi Lampung Tahun 2024 halaman 202, disebutkan bahwa dana operasional PT LJU ikut dibekukan, bukan hanya dana PI.
Artinya, seluruh roda bisnis ikut macet. Proyek tidak jalan, operasional tersendat, dan yang paling parah laba tak bisa disetor ke pemerintah daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang seharusnya dinikmati rakyat pun lenyap dalam kabut penyidikan yang belum jelas ujungnya.
Tahun 2023, PT LJU mencetak laba Rp192 miliar. Tapi setelah kasus mencuat dan dana dibekukan, laba tahun 2024 anjlok ke angka tragis Rp14 miliar. Penurunan hingga 90%. Di saat yang sama, utang usaha membengkak, utang pajak menumpuk, dan beban tak terbayar menumpuk nyaris Rp600 juta.
Ini bukan hanya soal angka, tapi potret kegagalan sistemik hukum tak bisa bergerak karena pengawasan macet, dan ekonomi rakyat dijadikan collateral damage.
Arie Sarjono mengundurkan diri, Direksi Tutup Mulut
Petinggi BUMD yang seharusnya bertanggung jawab atas kekacauan ini memilih bungkam. Direktur Utama PT LJU, Arie Sarjono Idris, hingga berita ini ditayangkan, tak memberi tanggapan apapun meski sudah dimintai konfirmasi sejak Senin (28/7). Diamnya Arie hanya mempertegas kesan bahwa ada banyak yang disembunyikan di balik laporan laba rugi.
Yang menarik, data menunjukkan laba PT LJU yang fantastis pada 2023 bukan murni dari kinerja bisnis, tapi dari transfer deviden PT LEB senilai Rp195 miliar. Maka ketika LEB terseret kasus korupsi, LJU ikut terseret jatuh.
Padahal kedua BUMD ini dibentuk dengan janji manis menjadi pilar ketahanan energi dan sumber PAD strategis. Tapi yang terjadi justru sebaliknya BUMD jadi ladang konflik kepentingan dan permainan kekuasaan.
BPKP dalam Sorotan Tajam Kinerja Lemah, Akuntabilitas Gelap
Sorotan kini tertuju ke BPKP Perwakilan Lampung. Lembaga ini, yang seharusnya jadi mitra penegak hukum, justru menjadi penghambat utama proses peradilan. Tak ada transparansi. Tak ada tenggat pasti. Tak ada progres yang disampaikan ke publik.
Jika dalam dua bulan lembaga sekelas BPKP belum bisa menyelesaikan penghitungan kerugian negara padahal sudah ada penyitaan dan pemblokiran maka patut dipertanyakan kapasitas, integritas, atau bahkan apakah ada tekanan politik dalam kasus ini?
Pemerintah Daerah Diam? DPRD Tutup Mata?
Lebih mengkhawatirkan lagi hingga saat ini, belum ada suara tegas dari Gubernur Lampung, Rahmad Mirzani Djausal. Tidak ada desakan dari DPRD. Tidak ada panggilan ke BPKP. Tidak ada permintaan percepatan dari Kejati. Semuanya seperti nyaman dalam pembiaran.
Padahal, uang rakyat sedang dibekukan. PAD sedang dikorbankan. Dua BUMD yang dibentuk dengan keringat rakyat nyaris lumpuh.
Akhirnya, Hanya Satu yang Menunggu Keberanian
Kasus ini adalah ujian integritas, bukan sekadar perkara audit. Jika BPKP terus berkelit, Kejati harus berani ambil langkah tegas. Jika tak mampu, maka Kejaksaan Agung harus turun tangan. Jika semua lembaga daerah tak bertindak, maka rakyat Lampung harus mulai bertanya ada apa sebenarnya dengan dana PI ini?
Hukum tak boleh ditawan angka. PAD tak boleh disandera birokrasi. Keadilan harus bergerak bahkan jika harus melawan kelambanan negara itu sendiri.
Editor : Hengki Utama