EWS BPBD Lampung Diduga Fiktif Uang Negara Raib, Hukum Harus Menyala
Kompastuntas.com—Bandar Lampung, ada yang ganjil dari proyek pengadaan sistem peringatan dini bencana (Early Warning System/EWS) di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Lampung tahun anggaran 2024. Dalam dokumen negara, tercatat 63 unit EWS dipasang. Di lapangan? Hanya empat yang terlihat. Sisanya seperti hantu tak ada, tak tampak, dan tak bisa dilacak.
Proyek bernilai miliaran rupiah ini kini mencium aroma busuk pekerjaan fiktif, rekayasa dokumen, dan penggelapan anggaran. Laporan resmi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperkuat dugaan itu. Tak pelak, publik bertanya siapa yang bermain, dan mengapa belum ada yang ditangkap?
Dr. Topan Indra Karsa, S.H., M.H., akademisi hukum dan praktisi dari Universitas Tulang Bawang, menyebut kasus ini tak bisa lagi disebut pelanggaran administratif. “Ini murni Tipikor. Pekerjaan fiktif adalah modus klasik korupsi, memperkaya diri sendiri lewat proyek kosong,” ujarnya, Jumat, 25 Juli 2025.
Ia menegaskan, pengembalian anggaran oleh rekanan bukan tameng dari jerat pidana. “Uang dikembalikan setelah ketahuan, bukan karena kesadaran. Hukum tidak bisa disuap dengan alasan pengembalian,” kata Topan. Ia mengutip Pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang mengatur pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun bagi pelaku penggelapan anggaran negara.
Topan juga mengingatkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 yang tegas pengembalian kerugian negara tak menggugurkan proses pidana. “Jika proyek ini benar-benar fiktif, maka kita bicara tentang pemalsuan dokumen negara, laporan keuangan palsu, dan penipuan publik berskala besar,” tegasnya.
Korupsi Model Lama dengan Pola Baru
Ketua LSM Pro Rakyat, Aqrobin A.M., tak bisa menyembunyikan kekesalannya. “Kami turun langsung ke lapangan. Dari 63 alat EWS yang katanya sudah terpasang, kami hanya menemukan empat. Sisanya fiktif. Ini bukan kelalaian ini kejahatan,” ujarnya tajam.
Aqrobin, bersama Sekretarisnya Johan Alamsyah, membandingkan pola ini dengan kasus lama di salah satu dinas provinsi tahun 2016. Kala itu, pengadaan fiktif barang-barang kantor juga berujung bui bagi pejabat dan kontraktor. “Apakah Lampung sedang mengulang sejarah kelamnya sendiri?” sindir Johan.
Menurut mereka, modus yang digunakan sangat sistematis. Dari dokumen yang dimanipulasi, hingga laporan realisasi yang diduga palsu. “Uang negara jelas-jelas sudah dicairkan. Tapi barangnya tidak ada. Artinya, ini proyek siluman. Dana digelontorkan untuk entitas kosong,” kata Johan.
Pengembalian sebagian dana oleh pelaksana proyek pun tak membuat mereka lunak. “Kalau maling uang negara lalu bilang ‘maaf dan uangnya dikembalikan’, apa lantas bebas dari jerat hukum? Itu logika busuk,” tegas Aqrobin.
Saatnya Kejati Bertaring
LSM Pro Rakyat berjanji akan melaporkan kasus ini secara resmi ke aparat penegak hukum. Mereka mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung untuk tak berlindung di balik birokrasi dan menunggu viralitas. “Laporan BPK adalah dasar kuat. Kalau ini didiamkan, Kejati akan ikut tercatat dalam sejarah kelam pemberantasan korupsi di Lampung,” kata Johan.
Ia menantang Kejati bersikap seperti Kejari Pringsewu, Lampung Selatan, Way Kanan, dan Lampung Timur yang beberapa waktu lalu berani menindak proyek-proyek fiktif. “Kami tak butuh basa-basi. Kami butuh tindakan nyata,” tegasnya.
Pihaknya meminta agar seluruh pejabat BPBD dan rekanan yang terlibat dalam proyek EWS segera dipanggil dan diperiksa. “Jika Kejati tak bergerak, kami akan laporkan langsung ke KPK. Karena aroma ini sudah busuk sampai ke Jakarta,” ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, BPBD Provinsi Lampung belum memberikan klarifikasi. Upaya konfirmasi kepada pejabat terkait pun belum dijawab. Sementara itu, publik menunggu: apakah aparat penegak hukum akan menyala, atau justru ikut padam bersama proyek EWS yang gagal menyelamatkan anggaran negara?
Editor : Hengki Utama