Mafia Tanah di Atas Aset Negara Eks Kepala BPN Lamsel dan PPAT Ditahan Kejati Lampung
Kompastuntas.com— Bandar Lampung, satu lagi babak kelam mafia tanah terbuka di Lampung. Skandal ini bukan perkara sengketa biasa antarwarga atau masalah administratif belaka, tapi kasus penjarahan aset negara yang diduga dilakukan dengan sadar dan sistematis oleh aparat negara sendiri.
Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung resmi menahan dua tersangka utama dalam dugaan korupsi penerbitan hak atas tanah milik Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia senilai Rp54,4 miliar. Dua tersangka itu adalah Lukman, mantan Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Lampung Selatan tahun 2008, dan Theresia, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) aktif di wilayah tersebut.
Penahanan dilakukan setelah penyidik menemukan cukup bukti bahwa keduanya secara aktif berperan dalam pengalihan aset negara ke tangan pribadi melalui pemalsuan dokumen dan penyalahgunaan kewenangan. Kini keduanya mendekam di dua tempat berbeda Lukman ditahan di Rutan Polresta Bandar Lampung, sedangkan Theresia di Rutan Kelas I Way Hui, untuk masa penahanan awal 20 hari ke depan.
Aset Negara Berpindah Tangan Diam-Diam
Kasus ini bermula dari laporan masyarakat yang mencurigai adanya perubahan kepemilikan atas lahan di Desa Pemanggilan, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan. Lahan itu sebelumnya diketahui merupakan aset sah milik Kementerian Agama RI yang tercatat dalam Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 12/NT/1982. Namun, tanpa pencabutan hak atau prosedur pelepasan aset yang sah, tanah seluas puluhan hektare itu diketahui telah beralih menjadi milik perseorangan.
Dugaan manipulasi ini bukan perkara kecil. Laporan ditindaklanjuti Kejati Lampung dengan penyidikan intensif. Dalam prosesnya, ditemukan sejumlah bukti kuat bahwa perpindahan hak kepemilikan dilakukan melalui rekayasa dokumen dan persengkokolan antara pejabat pertanahan dengan PPAT.
“Asal lahan itu jelas. Aset negara. Tapi oleh oknum di Kantor Pertanahan Lampung Selatan dan PPAT, lahan tersebut dijadikan objek penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM), seolah-olah dimiliki pribadi. Inilah modus mafia tanah yang merampas aset negara secara diam-diam,” kata Asisten Pidana Khusus Kejati Lampung, Armen Wijaya, dalam konferensi pers, Rabu, 25 Juni 2025.
Peran Aktif Pejabat Pertanahan dan PPAT
Menurut Armen, Lukman sebagai kepala kantor saat itu dengan sadar memerintahkan stafnya untuk memproses permohonan SHM atas nama pihak-pihak tertentu, meski mengetahui bahwa dokumen yang diajukan penuh kejanggalan.
Lahan yang seharusnya tidak dapat diperjualbelikan karena masih tercatat sebagai milik negara itu, justru dialihkan tanpa dasar hukum yang sah. Permohonan SHM disetujui dan diterbitkan, diduga kuat setelah adanya manipulasi data fisik, data yuridis, dan dokumen palsu yang disiapkan oleh pemohon dengan bantuan PPAT.
Theresia sebagai pejabat yang seharusnya menjamin legalitas dan kebenaran data dalam pembuatan akta, justru ikut memuluskan proses dengan membuat akta jual beli berdasarkan dokumen yang ia tahu bermasalah. “Alih-alih menolak, ia malah ikut aktif mempercepat agar pengajuan SHM bisa disetujui oleh Kantor Pertanahan,” kata Armen.
Kerugian negara atas ulah kedua tersangka tidak main-main. Menurut audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Lampung, negara kehilangan potensi aset senilai Rp54.445.547.000 akibat penerbitan SHM ilegal ini.
Bukan Kasus Pertama
Kasus ini mempertegas pola lama yang terus berulang: lemahnya kontrol negara terhadap asetnya sendiri. Mafia tanah kerap lahir dari dalam, bukan dari luar. Aktor utamanya seringkali justru pejabat yang semestinya menjaga kedaulatan dan keabsahan tanah negara.
“Ini bukan sekadar kelalaian administratif. Ini adalah pengkhianatan terhadap mandat publik dan pengingkaran terhadap tanggung jawab jabatan,” ujar pengamat hukum agraria Universitas Lampung, Dr. Feri Andika, saat dimintai tanggapan. Ia menyebut skema semacam ini sudah jamak terjadi di berbagai daerah, dan hanya bisa diputus jika pemerintah serius menertibkan sistem pertanahan dari hulu ke hilir.
Pasal Berat, Komitmen Kejati
Dua tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 dan/atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal ini memuat ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda miliaran rupiah.
Kejati Lampung menegaskan komitmennya untuk mengusut tuntas perkara ini. Armen menyatakan penyidik akan menelusuri kemungkinan adanya aktor lain, termasuk oknum yang terlibat dalam rantai birokrasi tanah di lingkungan BPN maupun Kementerian Agama.
“Kami pastikan akan menangani perkara ini secara profesional, transparan, dan akuntabel. Perkembangan proses hukum akan kami sampaikan secara terbuka kepada publik,” ujar Armen.
Sebagai catatan, Skandal ini bukan sekadar persoalan dua individu. Ia mencerminkan lemahnya tata kelola agraria di Indonesia di mana dokumen bisa dipalsukan, kewenangan disalahgunakan, dan negara pun bisa dikalahkan oleh akta. Seperti kata seorang jaksa senior, “mafia tanah bukan hidup di lorong gelap, tapi duduk di belakang meja ber-AC.”
Editor : Hengki Utama