“Prabowo dan Empat Pulau: Menggugat Siapa yang Punya Hak Menyusun Ulang Sejarah”
Kompastuntas.com—Jakarta, Presiden Prabowo Subianto akhirnya turun tangan langsung dalam polemik batas wilayah yang menyeret dua provinsi di ujung utara Sumatera. Sengketa yang telah mengendap puluhan tahun itu kini mengemuka kembali setelah pemerintah pusat menerbitkan keputusan administratif yang dinilai memihak salah satu pihak.
Empat pulau yaitu Pulau Lipan, Panjang, Mangkir Besar, dan Mangkir Kecil yang sebelumnya masuk dalam peta wilayah Aceh, kini tertera sebagai milik administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Keputusan ini tertuang dalam Kepmendagri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang diteken pada 25 April lalu.
Menyusul gejolak di akar rumput dan tarik-menarik klaim antara kedua pemerintah provinsi, Presiden Prabowo menyatakan akan mengambil alih penuh penyelesaian konflik ini. Pernyataan itu disampaikan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad pada Sabtu (14/6) malam.
“Presiden akan ambil keputusan dalam pekan depan terkait status empat pulau yang dipersoalkan,” ujar Dasco, menyampaikan hasil komunikasi resmi antara DPR dan Istana.
Konflik yang Tak Pernah Usai
Persoalan ini bukan semata soal kode wilayah atau koordinat di peta. Ini tentang identitas, sejarah, dan rasa memiliki warga lokal. Pemerintah Aceh mengklaim keempat pulau itu sebagai bagian dari warisan sejarah Aceh Besar yang terbentang hingga ke bibir barat Sumatera. Jejak administrasi, adat, dan aktivitas ekonomi warga Aceh selama puluhan tahun juga diklaim menjadi bukti tak terbantahkan.
Sementara itu, Pemerintah Sumut memegang hasil survei dari Kemendagri yang menunjukkan bahwa secara geografis, keempat pulau lebih dekat dan lebih sering berinteraksi dengan wilayah Tapanuli Tengah.
Ironisnya, konflik ini justru terus dibiarkan mengambang dari tahun ke tahun, seolah-olah republik ini tidak pernah belajar dari sejarah perbatasan yang kerap menyisakan luka dan ketidakpuasan, seperti di wilayah Kalimantan atau Papua.
Pertaruhan Seorang Presiden
Dengan mengambil alih penuh penanganan sengketa ini, Prabowo mempertaruhkan dua hal: keadilan dan keutuhan. Jika langkahnya tepat, ia bukan hanya meredam konflik antarprovinsi, tapi juga mengirim sinyal kuat bahwa pemerintah pusat tak abai terhadap batas wilayah dan identitas daerah. Namun jika keliru, ia berpotensi menyalakan bara yang lebih dalam di tengah masyarakat yang merasa terpinggirkan.
Pekan depan, semua mata tertuju ke Istana. Apakah Presiden akan menggelar mediasi terbuka, atau langsung memutuskan berdasarkan laporan teknokratis? Akankah suara masyarakat lokal terdengar, atau justru terbenam oleh birokrasi?
Yang jelas, langkah Presiden Prabowo ini bukan hanya soal garis batas. Ini soal bagaimana republik ini memperlakukan setiap jengkal tanah dan setiap suara warganya. Jangan sampai, demi secarik dokumen administratif, negara abai terhadap sejarah dan rasa keadilan yang hidup di tengah rakyatnya.
Kita menunggu, sambil berharap: keputusan yang hadir bukan sekadar angka koordinat, tapi juga suara hati nurani republik.
Editor : Hengki Utama