Tiga Tahun Penat Lara Nafas Tua yang Terus Menjaga Langkah
Kompastuntas.com—Bandar Lampung, tiga tahun bukan waktu yang panjang, tapi cukup untuk menguji kesetiaan pada tujuan. Di tengah derasnya arus komunitas hobi yang datang dan pergi, Penat Lara tetap berdiri dengan satu pijakan mencintai alam, dengan cara yang sederhana namun tak sembarangan.
Sabtu malam (21/6), di kawasan alam Gubak Hills, Way Gubak, Sukabumi, Kota Bandar Lampung, ratusan pasang kaki berkumpul dalam suasana yang penuh kehangatan. Tak ada panggung megah, tak ada sorot lampu gemerlap. Hanya tenda-tenda kecil, lampu seadanya, dan semangat yang tak pernah padam.
Komunitas Pendaki Nafas Tua Lampung Raya juga dikenal dengan singkatan Penat Lara merayakan hari jadinya yang ketiga. Acara berlangsung akrab namun hidup, dengan tumpengan, pembagian doorprize, musik akustik, hingga sesi refleksi yang mengajak peserta menengok ke dalam sejauh mana mereka sudah melangkah, dan apa yang sedang dijaga.
“Ini bukan sekadar perayaan ulang tahun. Ini ruang kumpul, ruang pulang, bagi mereka yang percaya bahwa alam harus dirawat, bukan ditaklukkan,” kata Handoko, Ketua Penat Lara, dalam sambutannya malam itu.
Langkah yang Pelan, Tapi Pasti
Didirikan oleh sekelompok pendaki yang sudah tidak muda lagi secara usia tapi tetap muda dalam semangat Penat Lara tak lahir dari ambisi menaklukkan puncak. Mereka tidak sibuk memburu ketinggian atau eksistensi di media sosial. Justru sebaliknya komunitas ini lahir dari keinginan menjaga ritme langkah, menikmati alam dengan perlahan, dan menyemai nilai solidaritas antar sesama.
Tiga tahun terakhir, Penat Lara tak hanya mendaki gunung. Mereka membersihkan jalur pendakian, menanam pohon, mengedukasi pendaki pemula soal etika dan keselamatan, serta menjalin jaringan dengan komunitas pecinta alam lintas daerah.
“Mereka pelan, tapi konsisten. Seperti akar pohon di lereng tak terlihat dari luar, tapi menguatkan semuanya dari dalam,” kata Zulhaidir, perwakilan Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal, yang hadir di tengah perayaan itu.
Ia menambahkan bahwa komunitas seperti ini harus diberi ruang dan dukungan. “Mencintai alam adalah bagian dari mencintai hidup. Mendaki bukan soal ego menaklukkan, tapi soal menguatkan karakter. Pemerintah melihat Penat Lara sebagai contoh baik dari bagaimana semangat komunitas bisa berdampak luas,” ujarnya.
Bukan Sekadar Naik Gunung
Yang membuat Penat Lara berbeda adalah semangat “ngumpul tanpa gengsi, bergerak tanpa pamrih.” Mereka menolak jadi komunitas eksklusif. Setiap orang tua, muda, pemula, atau senior disambut dengan tangan terbuka.
“Kami tidak mengejar kecepatan atau jumlah pendakian. Kami ingin setiap perjalanan punya makna,” ujar Zainurah atau Kak Nora, Ketua Penat Lampung Utara. “Bagi kami, naik gunung itu ibarat hidup kadang berat, kadang licin, tapi selalu ada teman untuk menopang. Penat Lara adalah rumah itu.”
Bagi para anggotanya, komunitas ini menjadi ruang aman untuk berbagi. Tak jarang, dari tenda dan api unggun, lahir diskusi serius soal lingkungan, perubahan iklim, hingga keadilan ekologis.
Malam Puncak yang Hangat
Malam itu, perayaan sederhana menjadi penutup dari rangkaian yang menggugah. Tumpeng dipotong sebagai tanda syukur. Lagu-lagu dinyanyikan bersama, diselingi canda dan cerita tentang pendakian, kesasar di hutan, hingga kisah cinta yang lahir di jalur tracking.
Tenda-tenda berdiri rapi di antara pepohonan. Angin malam yang dingin seolah tak berdaya melawan kehangatan persaudaraan di tengah acara. Doorprize dibagikan sebagai simbol kebersamaan, bukan soal siapa dapat apa, tapi karena semua merasa dimiliki oleh satu rumah bernama Penat Lara.
Menjaga Nafas, Merawat Langkah
Kini, memasuki tahun keempat, Penat Lara tetap membawa satu pesan: pendakian sejati bukan hanya soal mencapai puncak, tapi tentang bagaimana kita kembali ke bawah dengan hati yang lebih luas dan kaki yang lebih kuat.
Bukan soal berapa banyak gunung yang ditaklukkan, tapi berapa banyak yang kita jaga. Bukan soal cepat sampai, tapi soal siapa yang tetap ada di samping saat langkah melemah.
Tiga tahun Penat Lara, dan semangat itu masih menyala. Bukan dari sorotan kamera. Tapi dari dalam dada, dari napas yang tak pernah letih mencintai alam.
Editor : Hengki Utama