Mau jadi wartawan model Old atau wartawan model now oleh Hengki Irawan yg lagi belajar menulis
Kompastuntas.com – Ada yang menarik ketika melihat fenomena wartawan yang berburu berita di instansi baik pemerintah maupun swasta sekarang, Perbedaan wartawan zaman dulu dan sekarang bisa dilihat dari berbagai aspek, mulai dari cara kerja, teknologi yang digunakan, hingga etika jurnalistik.
1. Teknologi dan Cara Kerja
Dulu, wartawan mengandalkan alat tulis, mesin tik, dan telepon kabel kalaupun pakai HP sudah paling hebat seluler model poliponik dan bukan model android dengan layar sentuh atau smart phone untuk mengumpulkan serta menyebarkan berita. Informasi harus diperoleh secara langsung dengan wawancara tatap muka atau riset mendalam melalui dokumen fisik, sehingga potensi terjadi berita hoak akan kecil sebab antara wartawan dengan sumber berita selalu bertemu atau berhadapan dilokasi kejadian. Berita juga diterbitkan dalam format cetak, seperti koran dan majalah, yang membutuhkan proses produksi lebih lama.
Sekarang, teknologi digital telah mengubah segalanya. Wartawan bisa melaporkan berita secara real-time melalui internet, media sosial, dan platform online lainnya. Penggunaan smartphone, email, dan aplikasi pesan instan juga mempermudah pengumpulan informasi.
2. Kecepatan vs. Ketelitian
Dulu, wartawan memiliki lebih banyak waktu untuk meneliti berita sebelum diterbitkan. Penyuntingan dilakukan dengan cermat agar berita tetap akurat dan berimbang, sehingga dengan jeda waktu pemberitaan masih memungkinkan mencari sumber berita pembanding sebelum dicetak atau ditayangkan.
Sekarang, kecepatan menjadi prioritas utama. Banyak media berlomba-lomba menjadi yang pertama dalam memberitakan sesuatu, bahkan kadang mengorbankan akurasi. Hoaks dan misinformasi lebih mudah tersebar karena berita bisa dipublikasikan dalam hitungan detik tanpa verifikasi yang memadai. Nanti jika berita yang disebarkan kurang akurat maka pemilik media akan klarifikasi dengan alasan-alasan bahasa “dugaan”, sehingga terhindar dengan UU ITE Nomor 19 tahun 2016 dan UU Pres nomor 40 tahun 1999 dan UU HAM nomor 39 tahun 1999.
3. Etika dan Independensi
Wartawan dulu lebih dikenal sebagai penjaga independensi jurnalistik. Mereka bekerja untuk menyajikan berita dengan objektivitas tinggi, meskipun tetap ada tekanan dari pihak tertentu.
Saat ini, banyak wartawan atau media yang dipengaruhi oleh kepentingan politik dan bisnis sudah pasti ada proses transaksional antara pemilik media atau wartawan dengan sumber berita baik dengan cara “menerima upeti” atau “menerima intimidasi” (ingat kejadian kiriman Kepala Babi dan bangkai tikus di Media @Tempo.co beberapa saat yang lalu. Beberapa media bahkan lebih fokus pada konten yang viral atau sensasional dibandingkan berita yang benar-benar penting bagi publik.
4. Interaksi dengan Pembaca
Dulu, komunikasi antara wartawan dan pembaca terbatas. Jika ada tanggapan atau kritik, biasanya disampaikan melalui surat pembaca di media cetak.
Sekarang, wartawan bisa langsung berinteraksi dengan pembaca melalui media sosial dan kolom komentar.
Ini memberi keuntungan karena memungkinkan transparansi dan keterlibatan publik sesuai dengan UU nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik , tetapi juga menimbulkan tantangan seperti serangan siber, ujaran kebencian, dan tekanan publik yang bisa memengaruhi independensi wartawan. Maka akan muncul bahasa di media sosial “No Viral No Justice”
Kesimpulan
Secara keseluruhan, wartawan zaman dulu lebih mengutamakan ketelitian dan independensi, sementara wartawan sekarang lebih dituntut untuk cepat dan responsif. Teknologi memang memberikan banyak kemudahan, tetapi juga membawa tantangan baru dalam menjaga kualitas dan kredibilitas jurnalistik. Tantangan terbesar wartawan saat ini adalah bagaimana tetap mengedepankan prinsip jurnalistik di era yang serba cepat dan penuh tekanan dari berbagai pihak.
Ada yang lebih unik wartawan zaman now berlomba mentransformasi dirinya menjadi pemilik media, walaupun jadi wartawan masih seumur “Singkong” yang harganya sudah ditetapkan pemerintah pusat dengan harga jual terendah kepabrik tapi apa daya tetap tidak sesuai harapan dengan kenyataan. Itulah wartawan sekarang belajar jadi CEO atau pemilik media akan tetapi secara infrastruktur belum siap dan sanggup. Apa daya mau punya mental tarung tapi yang terjadi malah mental singkong. Tabik pun.
Editor : Agung