“Kejaksaan Jangan Mandul, Menjarain Silfester Matutina yang Sudah Inkrah Saja Tak Berani”
Kompastuntas.com— JAKARTA, publik kembali mempertanyakan integritas penegakan hukum di Indonesia. Kasus Silfester Matutina, terpidana kasus fitnah dan penghinaan terhadap Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla (JK), menjadi sorotan tajam setelah eksekusi hukum yang telah inkrah bertahun-tahun tak kunjung dilaksanakan.
Lebih memantik polemik, pemerintah melalui Kementerian BUMN justru mengangkat Silfester sebagai komisaris di sebuah perusahaan pelat merah. Langkah ini dinilai sebagian pengamat sebagai preseden buruk, karena memberi jabatan kehormatan kepada seorang yang secara hukum telah divonis bersalah.
Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi, tak menutupi kekesalannya.
“Buahahaha, ndak usah muluk-muluk mau ngejar Riza Chalid dan DPO kelas kakap lainnya. Menjarain Silfester yang jelas-jelas inkrah terpidana saja bijinya ciut,” tulisnya di akun media sosial X, Minggu (10/8/2025).
Unggahan tersebut sudah dilihat lebih dari 14 ribu kali dan dibanjiri komentar warganet yang menuding Kejaksaan “masuk angin”. Sebagian bahkan mengunggah kembali pernyataan almarhum Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bahwa bangsa ini penakut jika berhadapan dengan pelaku pelanggaran hukum yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan.
Jejak Kasus Silfester Matutina
Berdasarkan penelusuran Republika, berikut kronologi kasus yang menjerat Silfester:
1. Awal 2017 – Silfester Matutina dilaporkan ke polisi oleh tim hukum Jusuf Kalla atas dugaan penyebaran fitnah dan penghinaan di media sosial.
2. 2018 – Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Silfester bersalah dengan hukuman pidana penjara.
3. 2019 – Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan PN. Silfester mengajukan kasasi.
4. 2021 – Mahkamah Agung menolak kasasi. Putusan berkekuatan hukum tetap (inkrah).
5. 2022–2024 – Eksekusi tidak dilakukan. Silfester tetap beraktivitas di ruang publik.
6. Awal 2025 – Pemerintah mengangkat Silfester sebagai komisaris di salah satu BUMN, memicu gelombang kritik.
7. Agustus 2025 – Publik mendesak Kejaksaan melakukan eksekusi segera. Kejaksaan belum memberikan keterangan resmi.
Dinamika Politik di Balik Penundaan
Sejumlah sumber hukum yang ditemui Republika menyebutkan, mandeknya eksekusi bukan semata soal teknis administrasi. Ada dugaan intervensi politik mengingat Silfester memiliki jaringan kuat di lingkaran elite.
Pengamat hukum pidana Universitas Bung Karno, Hudi Yusuf, menilai kelambanan ini dapat meruntuhkan kepercayaan publik terhadap supremasi hukum.
“Kalau hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, publik akan melihat penegakan hukum sebagai sandiwara. Kejaksaan harus membuktikan independensinya,” ujarnya.
Tekanan Publik Meningkat
Di media sosial, desakan eksekusi semakin nyaring. Unggahan Islah Bahrawi dijadikan simbol protes publik terhadap aparat penegak hukum yang dinilai tak berani menghadapi orang dekat kekuasaan.
“Apabila APH berlindung di bawah ketiak penguasa, jangan berharap ada keadilan. Yang terjadi hanyalah sandiwara. Menjilat dijamin selamat, berseberangan siap-siap dipenjarakan,” tulis seorang warganet.
Hingga berita ini diturunkan, Kejaksaan Agung belum memberikan jawaban resmi. Publik menanti langkah konkret apakah hukum akan dijalankan tanpa pandang bulu, atau kasus ini akan menambah daftar panjang inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia.
Editor : Hengki Utama