Hukum Harus Tajam ke Atas: Akademisi Unila Dukung Tuntutan Mati untuk Oknum TNI Pembunuh Polisi
Kompastuntas.com— BANDAR LAMPUNG, tidak ada alasan untuk lunak. Tiga anggota polisi tewas ditembak. Pelakunya bukan penjahat jalanan, tapi prajurit aktif TNI AD. Ironis sekaligus tragis.
Kini, ketika oditur militer menuntut hukuman mati, masyarakat menahan napas: akankah keadilan berdiri tegak, atau kembali tumpul ke dalam?
Akademisi Hukum Universitas Lampung, Dr. Budiono, MH, menyebut tuntutan itu sebagai langkah tegas dan bermartabat.
“Sudah tidak bisa ditawar. Pembunuhan berencana terhadap aparat negara lain, oleh anggota TNI aktif, adalah pelanggaran paling memalukan dalam sejarah profesi militer. Tuntutan mati bukan hanya layak, tapi wajib,” ujarnya, Selasa (22/7/2025).
Budiono menilai, fakta-fakta di persidangan memperlihatkan dengan gamblang bahwa terdakwa telah merancang aksinya secara sadar. Tiga nyawa anggota Polri melayang bukan karena salah tembak, tetapi karena kehendak yang dipersiapkan.
“Ini bukan konflik biasa. Ini pengkhianatan terhadap sumpah prajurit, dan penistaan terhadap hukum itu sendiri,” katanya tegas.
Institusi Harus Berani Membersihkan Diri
Sementara itu, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Edwin Partogi Pasaribu, turut mendesak agar vonis nantinya benar-benar mencerminkan keadilan publik.
“Kasus ini memiliki dimensi psikologis yang besar. Tidak hanya bagi keluarga korban, tapi juga bagi kepercayaan masyarakat pada institusi negara. Ketika aparat saling bunuh, dan pelaku tak dihukum setimpal, maka yang runtuh bukan hanya hukum, tapi juga legitimasi negara,” ujar Edwin saat dihubungi terpisah.
Menurutnya, keluarga korban berhak atas keadilan maksimal, sekaligus kepastian bahwa tindakan seperti ini tak akan berulang.
“Kami berharap majelis hakim militer benar-benar objektif dan tak tunduk pada tekanan internal,” tegasnya.
Wajah Militer Dipertaruhkan
Direktur Eksekutif Institut Demokrasi dan Keamanan Hukum (IDKH), Fadli Rasyid, melihat kasus ini sebagai peluang terakhir bagi militer untuk membuktikan keterbukaan institusinya.
“Sudah terlalu lama publik menganggap peradilan militer sebagai ruang tertutup yang penuh kompromi. Jika vonis ringan dijatuhkan, maka kecurigaan itu akan terbukti,” katanya.
Fadli menambahkan, jika institusi TNI serius menjaga citranya sebagai alat pertahanan negara, maka mereka juga harus berani menghukum tegas pelanggar dari dalam.
“Kalau militer bisa menindak keras pelanggaran sipil, maka saat anggota mereka membunuh aparat negara lain, sanksinya harus jauh lebih tegas. Kalau tidak, ini bukan negara hukum, tapi negara sandiwara,” sindirnya tajam.
Arah Ujian Peradilan Militer
Budiono menegaskan kembali, vonis dalam kasus ini akan menjadi penentu arah reformasi hukum militer ke depan.
“Jika hakim memutus sesuai tuntutan, maka publik percaya bahwa hukum militer sudah mulai setara. Jika tidak, maka itu akan jadi preseden buruk, bahwa nyawa tiga polisi hanya dihargai basa-basi birokrasi,” ujarnya.
Ia mengingatkan, publik sudah cukup lama bersabar melihat ketimpangan hukum di negeri ini. Kini saatnya hukum membuktikan bahwa tajam ke bawah saja tidak cukup. Ia harus juga tajam ke atas ke dalam, dan ke segala arah.
Editor : Hengki Utama