Bisnis Mie Murah Meriah, Royalti Musik, dan Bayangan Anton Kurniawan
Kompastuntas.com—Jakarta, di tengah hiruk-pikuk masyarakat yang antre demi semangkuk mie pedas dengan harga terjangkau, ada satu sosok yang tetap memilih bersembunyi di balik layar Anton Kurniawan. Ia bukan publik figur, bukan pula pebisnis yang gemar tampil di media. Tapi jejak tangannya terasa kuat dalam ekspansi kilat jaringan Mie Gacoan di berbagai kota di Indonesia.
Didirikan tahun 2016 di Malang, Jawa Timur, bisnis kuliner bernama PT Pesta Pora Abadi menggebrak pasar dengan brand Mie Gacoan. Anton Kurniawan, yang kini menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO), disebut-sebut sebagai motor utama di balik strategi bisnis agresif tersebut. Namanya tercantum di laman LinkedIn sebagai pemimpin perusahaan selama hampir satu dekade.
Tapi tak ada keterangan riwayat pendidikan ataupun pengalaman kerja lain seolah menyisakan ruang misteri dalam kisah suksesnya.
Anton bukan satu-satunya sosok penting. Ada Harris Kristioanti sebagai Chief Operating Officer (COO), mengendalikan roda operasional lebih dari 10 ribu pegawai yang tersebar di hampir 300 gerai. Jawa menjadi basis kekuatan mereka. Strategi mereka sederhana tapi efektif harga murah, rasa menggoda, dan konsep tempat nongkrong yang digandrungi kalangan muda.
Namun, jalan mulus Gacoan tak selamanya licin. Tahun 2022, mereka tersandung batu sandungan sertifikasi halal. Nama-nama menu seperti “Mie Setan”, “Mie Iblis”, dan “Es Genderuwo” dianggap tidak sesuai syariat. Kritik dari berbagai ormas Islam pun berdatangan. Pada pertengahan 2023, manajemen akhirnya mengubah nama-nama tersebut demi memperoleh sertifikasi halal dari MUI.
Belum tuntas dari sorotan, kini masalah baru muncul. Bukan soal rasa atau harga, melainkan soal hak cipta musik. Gerai Mie Gacoan di Bali diketahui memutar ribuan lagu tanpa izin resmi. Akibatnya, Direktur PT Mitra Bali Sukses, selaku pemegang lisensi Gacoan di wilayah tersebut, ditetapkan sebagai tersangka karena tak mengantongi izin dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Persoalan ini menampar manajemen pusat, sekaligus membuka pertanyaan tentang kesadaran hukum dalam ekspansi bisnis waralaba mereka.
Keberhasilan Mie Gacoan memang tak bisa ditepikan. Mereka tahu benar bagaimana bermain di pasar bawah yang luas. Tapi tantangan bisnis tak hanya soal menjual murah dan cepat ekspansi. Ada hukum yang harus ditaati, ada etika bisnis yang harus dijunjung.
Dan di tengah semua sorotan ini, satu hal tetap tak berubah: Anton Kurniawan tetap diam. Seperti biasa, ia memilih tak banyak bicara. Tapi bisakah sebuah merek besar terus tumbuh tanpa transparansi siapa nahkodanya? Ataukah justru itu strategi agar badai tak mudah menampar langsung ke geladak utama?
Waktu yang akan menjawab.
Editor : Hengki Utama









