Diduga Bupati Ardito Halalkan Nepotisme dan Transaksi Jabatan di Lampung Tengah.
Kompastuntas.com— Lampung Tengah, harapan akan hadirnya pemerintahan daerah yang bersih dan progresif di bawah kepemimpinan Bupati Ardito Wijaya tampaknya mulai memudar. Alih-alih menampilkan gebrakan kebijakan dan inovasi tata kelola, yang mengemuka justru praktik-praktik yang menabrak etika publik dan prinsip good governance.
Mulai dari dugaan jual beli jabatan hingga indikasi kuat nepotisme dalam pengisian jabatan strategis, Lampung Tengah kini berada di persimpangan krisis kepercayaan dan kerusakan tata kelola birokrasi.
Rosim Nyerupa, S.IP pemerhati politik dan pemerintahan daerah, menyebut bahwa sejak dilantik, Ardito belum menunjukkan satu pun agenda reformasi birokrasi yang berarti.
“Belum ada satu pun inovasi kebijakan yang bisa dikatakan monumental. Yang muncul justru praktik feodal modern yang membungkus kekuasaan dengan aroma keluarga dan transaksi. Seolah-olah Bupati Ardito menghalalkan itu semua” ungkapnya dalam keterangan resmi, Selasa (7/5).
Puncak dari kekhawatiran ini terjadi ketika nama Welly Adi Wantra, S.STP., M.M.—adik ipar Bupati Ardito—tiba-tiba mencuat sebagai kandidat unggulan dalam seleksi terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (JPTP) Sekretaris Daerah (Sekda).
Dengan skor administrasi dan rekam jejak nyaris sempurna, publik mencium skenario yang sarat pengondisian sejak panitia seleksi ditunjuk Bupati.
“Bupati yang menetapkan panitia seleksi, Yang akan duduki jabatan adik iparnya sendiri. Skenario dibuat sedemikian rupa. Dalam kerangka meritokrasi, proses ini janggal. Dalam kerangka moral publik, ini busuk. Dan dalam kerangka demokrasi, ini pengkhianatan,” tegas Rosim.
Ia menambahkan, praktik semacam ini memiliki dampak destruktif jangka panjang.
Pertama, dari sisi birokrasi, akan muncul fenomena demoralisasi ASN. “Ketika jabatan diberikan bukan berdasarkan kompetensi, tapi relasi kekuasaan, maka motivasi ASN untuk bekerja profesional akan runtuh. Yang terjadi adalah survivalisme, bukan pelayanan publik.”
Kedua, praktik ini berpotensi membangun struktur birokrasi yang transaksional, di mana loyalitas lebih penting daripada integritas. Hal ini, dalam istilah Max Weber, menjauhkan birokrasi dari prinsip impersonality, yaitu keharusan agar birokrasi bersikap netral dan berorientasi pada aturan, bukan orang.
Ketiga, dalam konteks sosial-politik, masyarakat akan mengalami apa yang disebut sebagai kehilangan kepercayaan institusional.
“Ketika publik merasa jabatan publik bisa dibeli atau diwariskan, maka kepercayaan pada negara akan bergeser menjadi apatisme, bahkan sinisme. Demokrasi lokal akan macet. Partisipasi politik berubah jadi penonton, bukan pelaku,” tegas Rosim.
Keempat, secara hukum dan tata negara, tindakan ini membuka celah pelanggaran terhadap prinsip equal access to public office, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D UUD 1945. “Hak setiap warga negara untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan dilanggar secara diam-diam namun sistemik.”
Rosim bahkan menilai Bupati Ardito secara politis berada dalam posisi yang rawan. “Ia terancam berhadapan dengan mekanisme kontrol vertikal dari institusi negara, atau bahkan tekanan horizontal dari civil society. Bila ini terus dibiarkan, maka tak hanya nama baik pemerintah daerah yang hancur, tapi juga legitimasi politik Ardito sendiri.”
Ia mempertanyakan, bagaimana mungkin seorang kepala daerah bisa menjalankan pemerintahan yang efektif jika ekosistem di sekelilingnya dibentuk atas dasar kepatuhan semu dan relasi kekeluargaan. “Pemerintah bukan dinasti. Birokrasi bukan warisan. Dan jabatan bukan milik pribadi. Ketika batas ini dilanggar, maka itu bukan lagi sekadar cacat etik, tapi ancaman serius terhadap demokrasi lokal.”
Rosim berharap lembaga pengawas seperti KASN, Ombudsman, dan KPK untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh proses seleksi dan rotasi jabatan di Pemkab Lampung Tengah.
“Ini bukan cuma soal satu jabatan. Ini soal masa depan birokrasi daerah dan kepercayaan rakyat. Jika ini tidak dihentikan sekarang, maka kita sedang membiarkan Lampung Tengah tumbuh dalam sistem pemerintahan yang disfungsional—satu langkah menuju negara dalam negara.” Ucapnya.