Tongkat Komando di Tangan Ela, Pejabat Sipil Dengan Gaya Militeristik yang Keliru dan Salah
Kompastuntas.com—Lampung Timur, penampilan Bupati Lampung Timur, Ela Siti Nuryamah, dalam balutan seragam putih lengkap dan menggenggam tongkat komando pada sebuah agenda resmi pemerintahan memantik tanya sejak kapan bupati memiliki komando atas pasukan bersenjata?
Tindakan Bupati Ela tak berdiri sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena kepala daerah tampil dengan atribut ala militer termasuk tongkat komando semakin sering muncul. Gaya simbolik ini memang tampak sepele, tetapi berpotensi mengaburkan batas antara kekuasaan sipil dan militer dalam sistem demokrasi.
Simbol Salah, Pesan Keliru
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, tongkat komando adalah simbol otoritas dalam struktur TNI dan Polri. Atribut ini tidak sekadar properti gaya, tapi menyimpan makna tanggung jawab atas kendali pasukan.
“Ketika seorang kepala daerah sipil membawa tongkat komando, itu sama saja menyesatkan publik. Ia seolah mengklaim otoritas yang bukan miliknya,” ujar Dr. Bivitri Susanti, pengajar hukum tata negara dari STH Indonesia Jentera.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tak pernah memberi ruang penggunaan simbol militer oleh kepala daerah. Fungsi mereka adalah melayani rakyat, bukan memimpin pasukan. Maka, munculnya tongkat komando di tangan bupati adalah bentuk distorsi simbolik, jika bukan pelanggaran etik.
Bukan Kasus Pertama
Apa yang dilakukan Bupati Ela bukan satu-satunya. Beberapa kepala daerah lain pernah melakukan hal serupa, dan menuai kritik keras.
1. Bupati Madiun, Ahmad Dawami (2019) terekam kamera menggunakan tongkat komando dalam acara HUT Kabupaten Madiun. Penampilannya menuai kritik dari pegiat demokrasi dan TNI. Pangdam V/Brawijaya bahkan sempat memberi pernyataan bahwa simbol tersebut bukan untuk pejabat sipil, dan mengingatkan pentingnya memahami posisi.
2. Bupati Serdang Bedagai, Darma Wijaya (2021) mengenakan seragam mirip PDU TNI lengkap dengan tongkat komando dalam apel pemerintahan daerah. Aksi itu viral di media sosial dan dikecam karena dianggap menciptakan citra kepemimpinan militeristik dalam ranah sipil.
3. Wali Kota Binjai, Amir Hamzah (2023) Dalam peringatan Hari Kesaktian Pancasila, Wali Kota Binjai tampil membawa tongkat komando saat memimpin upacara. Meski dibungkus sebagai simbol “semangat kepemimpinan,” masyarakat sipil menilai hal itu sebagai pelanggaran etika protokoler.
Menabrak Protokol, Mengaburkan Demokrasi
Tindakan semacam ini, jika terus dibiarkan, berpotensi menciptakan kebingungan di masyarakat tentang struktur kewenangan negara. Apalagi di tengah kecenderungan sebagian kepala daerah yang lebih sibuk membangun gimmick pencitraan ketimbang memperbaiki pelayanan publik.
“Simbol bisa membangun persepsi. Kalau yang muncul adalah simbol kekuasaan otoriter, maka kita sedang berjalan mundur. Demokrasi bukan soal siapa yang paling gagah, tapi siapa yang paling transparan,” kata Nova Handar, aktivis LSM Lappak.
Demokrasi Tanpa Tongkat Komando
Tongkat komando bukan sekadar kayu dengan hiasan emas. Ia adalah simbol tanggung jawab strategis atas nyawa prajurit dan keamanan negara. Maka, memakainya tanpa otoritas sah bukan hanya salah kostum, tapi salah arah kepemimpinan.
Dalam demokrasi, kekuasaan sipil berdiri di atas transparansi, bukan intimidasi simbolik. Seorang bupati tak butuh tongkat komando untuk tegas. Ia hanya perlu data, kejujuran, dan keberanian berpihak pada rakyat.
Ini menjadi catat penting,
Jika demokrasi dijalankan dengan benar, maka tongkat komando akan tetap berada di tangan yang tepat mereka yang memang mengemban tugas menjaga kedaulatan, bukan sekadar memburu kesan gagah di depan kamera.