8 Pendamping Gubernur Obral Jabatan, Kemasan Baru, Masalah Lama Benarkah Begitu?
Kompastuntas.com—Bandar Lampung, belum genap setahun menjabat, Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal sudah dihadapkan pada badai kritik. keroknya delapan sosok yang ditunjuk sebagai Tenaga Pendamping Percepatan Pembangunan (TP3). Formasi non struktural ini kini menjadi bola panas yang bergulir liar di ruang publik.
Mulai dari politisi senior, aktivis, hingga akademisi, satu suara langkah ini perlu dikaji ulang atau kalau perlu, dibatalkan total. Bukan tanpa alasan. Banyak yang menilai, TP3 hanya nama lain dari “tenaga ahli” yang dulu dikubur pemerintahan sebelumnya akibat sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kini, dibangkitkan lagi dalam kemasan baru dan publik bertanya: ada apa?
“Jangan Bungkus Ulang yang Sudah Gagal”
Tokoh senior Lampung, M. Alzier Dianis Thabranie, menyebut kebijakan ini berpotensi jadi “bom waktu” politik. “Jangan sampai Gubernur terjebak permainan orang-orang dekat yang bawa agenda pribadi, bukan percepatan pembangunan. Ini bisa jadi blunder serius,” ujarnya tegas, Sabtu (21/6/2025).
Menurut Alzier, banyak dari delapan orang yang ditunjuk itu tidak memiliki kapasitas teknokratis yang cukup, bahkan diragukan memahami cara kerja pemerintahan. “Kalau basicnya saja tak paham OPD, mau percepat apanya? Nanti malah bikin benturan dan sabotase halus ke program prioritas,” kritiknya.
Yang lebih mengkhawatirkan, menurut Alzier, sejumlah OPD di Pemprov Lampung mulai didatangi orang-orang yang mengaku sebagai “orang dekat gubernur” dengan membawa konsep dan proyek mereka sendiri. “Ini bukan mendampingi, ini menggiring,” sentilnya.
Dibungkus Romantis, Tapi Boros Anggaran
Gunawan Handoko, pengamat politik dari PUSKAP Lampung, tak kalah tajam. Menurutnya, formasi TP3 ini bisa jadi bentuk pemborosan baru di tengah komitmen Presiden Prabowo untuk efisiensi anggaran. “Sekalipun mereka tak diberi honor, tetap saja akan menggerus anggaran lewat operasional. Ini pemborosan terselubung,” tegasnya.
Bagi Gunawan, ASN yang ada jauh lebih layak dimaksimalkan. “Mereka sudah digaji, sudah paham birokrasi, dan punya tanggung jawab hukum. Mengapa malah memilih orang luar sistem yang bisa menabrak garis tugas formal?” katanya.
Ia mengingatkan, kritik publik justru tanda bahwa Gubernur masih dipercaya. “Tingginya ekspektasi pada Mirza menunjukkan masyarakat ingin dia berhasil. Tapi kalau pilihannya ngawur, kritik akan berubah jadi penolakan,” ujar Gunawan.
Antara Loyalitas dan Titipan
Isu ini pun memunculkan pertanyaan besar: Apakah delapan orang ini dipilih karena kapasitas atau karena kedekatan? Jika benar sebagian dari mereka adalah loyalis politik atau bahkan “titipan,” maka Gubernur sedang bermain api.
Belum lagi soal mandat. Hingga kini tak jelas apa tugas, wewenang, dan parameter kinerja TP3. Bahkan pimpinan OPD yang secara hukum hanya bertanggung jawab pada Gubernur dan aturan mengaku kebingungan. “Kalau pendamping minta ini itu, siapa yang bertanggung jawab kalau kebijakan itu bermasalah?” ucap salah satu pejabat OPD yang enggan disebut namanya.
Solusi: Buka Semua ke Publik
Agar polemik ini tak makin liar, Alzier menyarankan langkah sederhana namun krusial: buka semuanya. “Mirza harus bicara terbuka ke publik, sampaikan siapa saja mereka, apa tugasnya, dan mengapa dipilih. Jangan sampai publik curiga, ini sekadar akomodasi politik,” ucapnya.
Satu hal yang jelas: Lampung butuh percepatan pembangunan. Tapi bukan dengan cara tambal sulam yang memicu kecurigaan. Gubernur Mirza punya modal kepercayaan publik. Tapi modal itu tak akan bertahan jika dihabiskan untuk membayar “utang politik” lewat kursi pendamping yang tak transparan.
Editor : Hengki Utama