UTB Lampung Adakan Diskusi Menghadir Ketua MK, Dengan Topik Putusan 135, dan Ujian Demokrasi Kita
Kompastuntas.com— Tanjung Karang, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengukir sejarah lewat Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024. Putusan ini menegaskan prinsip keadilan elektoral, transparansi rekapitulasi suara, hingga perlindungan hak politik warga negara.
Tetapi, sebagaimana kerap terjadi, putusan penting kerap berhenti sebagai teks yang tak berdaya di atas kertas.
Diskusi publik di Universitas Tulang Bawang (UTB) Lampung, Sabtu lalu, menghadirkan Hakim MK Prof. Arief Hidayat. Forum akademik ini memberi gambaran bagaimana MK hendak menanamkan kesadaran hukum kepada publik, terutama mahasiswa. Arief mengingatkan bahwa Mahkamah berperan sebagai penafsir konstitusi, dan putusannya wajib dipahami sebagai pijakan hukum.
Namun persoalannya, sejauh mana putusan itu benar-benar dijalankan? Di masa lalu, kita menyaksikan putusan MK kerap dipinggirkan oleh para pembuat undang-undang, bahkan ditafsirkan ulang demi kepentingan politik jangka pendek.
Putusan MK soal sistem pemilu, ambang batas pencalonan presiden, atau sengketa hasil suara, sering kali menjadi bola liar yang dipermainkan oleh elite politik.
Demokrasi kita sedang diuji. Putusan 135 bisa menjadi momentum perbaikan, tetapi sekaligus rentan dimanipulasi. Keadilan elektoral yang ditegaskan MK akan bernilai hanya jika Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, hingga partai politik bersedia tunduk pada prinsip itu. Tanpa keberanian institusi dan komitmen moral elite, putusan MK hanya akan menambah daftar panjang “putusan monumental” yang dilupakan.
Di sinilah pentingnya suara masyarakat sipil, termasuk mahasiswa. Kesadaran hukum bukan sekadar menghafal pasal, melainkan mengawasi praktik.
Forum seperti di UTB Lampung harus menjadi pemicu gerakan yang lebih luas, menagih pertanggung jawaban pemerintah dan partai agar konsisten menjalankan putusan konstitusi.
Kita tak boleh lagi membiarkan demokrasi terjebak pada transaksi elite. Putusan MK 135 harus dibaca sebagai peringatan bahwa pemilu bukan soal siapa yang paling kuat, melainkan siapa yang paling taat pada hukum. Jika tidak, demokrasi hanya akan menjadi panggung formalitas, sementara kedaulatan rakyat tetap dirampas oleh segelintir orang.
Editor : Hengki Utama

Putusan MK soal sistem pemilu, ambang batas pencalonan presiden, atau sengketa hasil suara, sering kali menjadi bola liar yang dipermainkan oleh elite politik.







