PPDB Lampung 2025 Dinilai Kaku dan Diskriminatif, LSM KAKI Ajak Aktivis dan Penegak Hukum Awasi Ketat
Kompastuntas.com—Bandar Lampung, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2025 kembali menuai sorotan. Proses yang semestinya membuka pintu selebar-lebarnya bagi anak-anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang layak, justru dinilai makin diskriminatif dan kaku dalam pelaksanaannya.
Kritik tajam kali ini datang dari Lucky Nurhidayah, Ketua LSM Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) Lampung. Ia menyoroti aturan zonasi yang mensyaratkan usia Kartu Keluarga (KK) minimal satu tahun sebagai penentu kelayakan calon siswa mendaftar ke SMA Negeri.
“Ini syarat yang absurd dan tidak manusiawi,” kata Lucky kepada media ini, Sabtu (14/6). “Bagaimana kalau ada siswa yang sebenarnya sudah lama tinggal di suatu wilayah, tapi baru membuat KK delapan bulan lalu? Mereka otomatis gugur hanya karena administratif, padahal kenyataannya mereka adalah warga setempat.”
Lucky menyebut aturan ini tak ubahnya jebakan administratif yang mengorbankan hak anak untuk memperoleh pendidikan. Ia menilai sistem ini bukan hanya kaku, tapi juga gagal memahami realitas sosial di masyarakat.
“Seharusnya ada ruang untuk verifikasi faktual, bukan sekadar patokan angka di dokumen,” tegasnya.
Tak berhenti di jalur zonasi, LSM KAKI juga menyoroti perlakuan terhadap siswa dari keluarga tidak mampu yang mendaftar lewat jalur afirmasi. Menurut Lucky, banyak surat keterangan dari Dinas Sosial yang menyatakan calon siswa penerima manfaat Program Indonesia Pintar (PIP) atau PKH, justru ditolak oleh panitia verifikasi.
“Apa gunanya surat dari Dinsos kalau akhirnya ditolak mentah-mentah oleh panitia PPDB? Ini preseden buruk dan menunjukkan arogansi sistem,” katanya.
Ia mempertanyakan logika di balik kerja panitia penerimaan siswa baru. “Kalau semuanya tergantung sistem, lalu untuk apa ada verifikator di sekolah? Apa hanya jadi tukang stempel sistem?”
Panggilan untuk Mengawasi
Lucky mendesak semua aktivis, LSM, dan bahkan aparat penegak hukum untuk ikut terlibat aktif mengawasi jalannya PPDB 2025, terutama di sekolah-sekolah negeri di Provinsi Lampung.
Menurutnya, lemahnya pengawasan dari Dinas Pendidikan Provinsi Lampung turut memperparah carut-marut proses PPDB tahun ini.
“Kita tidak bisa diam. Kalau pendidikan sudah diatur oleh sistem yang tidak adil dan tanpa pengawasan, maka jangan heran kalau praktik korupsi, titipan, dan jual beli kursi akan terus terjadi,” ujarnya.
Pernyataan Lucky menampar kesadaran publik—bahwa di balik layar teknologi dan sistem digitalisasi pendidikan, masih ada lubang besar yang berpotensi menjadi lahan ketidakadilan.
Dengan nada tegas, Lucky menekankan pentingnya keterlibatan publik dan penegak hukum. “Ini bukan hanya soal masuk sekolah, tapi soal keadilan sosial. Jangan sampai sistem pendidikan kita hanya berpihak pada mereka yang punya dokumen lengkap tapi melupakan mereka yang benar-benar berhak,” pungkasnya.
PPDB seharusnya menjadi pintu masuk harapan, bukan gerbang diskriminasi terselubung. Lampung harus belajar dari suara-suara kritis yang muncul, sebelum kepercayaan masyarakat terhadap sistem ini benar-benar runtuh.
Editor : Hengki Utama