Manuver Ardito ke Golkar: Loyalitas, Kepantasan, dan Hitung-Hitungan Politik
Kompastuntas.com—Bandar Lampung, kepindahan Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya, dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ke Partai Golkar menambah daftar panjang politisi kepala daerah yang memilih berpindah perahu politik menjelang tahun politik 2029.
Bagi sebagian orang, langkah ini tampak sebagai strategi menyelamatkan karier. Namun bagi publik, tindakan itu justru menguak kembali problem lama: konsistensi dan kepantasan elite politik.
Ardito resmi menyatakan bergabung dengan Golkar pada pekan terakhir Agustus 2025. Langkah itu mengejutkan sebagian kalangan, sebab PKB selama ini menjadi partai yang membesarkannya hingga meraih kursi Bupati Lampung Tengah.
“Kalau beliau punya rasa memiliki terhadap PKB, mestinya tidak mengambil langkah pindah partai begitu saja,” kata pengamat hukum tata negara Universitas Lampung, Yusdianto, saat dimintai tanggapan, Sabtu, 30 Agustus 2025.
Menurut Yusdianto, publik tentu tidak asing dengan latar keluarga Ardito yang memang dekat dengan Golkar. Namun, kenyataan bahwa ia tumbuh sebagai figur politik berkat PKB tidak bisa diabaikan. “Dari sisi kepantasan, langkah Ardito tidak patut. Ia mestinya tahu siapa yang membesarkan namanya,” ujarnya.
Peta Politik Lampung Tengah
Langkah Ardito diduga erat kaitannya dengan dinamika politik di Lampung. Dalam Pilkada 2020, ia diusung PKB dan berpasangan dengan Musa Ahmad (Golkar) sebagai Bupati-Wakil Bupati. Namun hubungan keduanya dikabarkan renggang, terutama setelah Musa Ahmad lebih dominan dalam mengendalikan kebijakan daerah.
Seorang pengurus PKB Lampung Tengah yang enggan disebutkan namanya menyebut kepindahan Ardito tak lepas dari “ketidakpuasan internal”. “Ardito merasa posisinya diabaikan. Golkar menawarkan panggung baru untuk mengukuhkan dirinya,” katanya.
Golkar sendiri tengah agresif membangun basis kekuatan di Lampung. Setelah menguasai sejumlah kursi penting di DPRD, mereka membidik figur kepala daerah yang bisa menambah elektabilitas partai. Masuknya Ardito bisa jadi bagian dari strategi besar menghadapi Pilkada serentak 2029.
Isu Kutu Loncat dan Etika Politik
Bagi publik, yang menonjol justru persoalan etika. Yusdianto mengingatkan bahwa seorang kepala daerah harus menjaga integritas di mata rakyat. “Kalau hari ini pindah ke kuning, besok pindah ke merah atau biru, publik akan menilai ia politisi kutu loncat. Itu berbahaya bagi legitimasi kepemimpinan,” ujarnya.
Ia menekankan, berpindah partai memang hak politik setiap orang. Namun tata cara dan etika tetap penting. “Apakah sudah ada musyawarah dengan PKB? Apakah sudah pamit dengan partai pengusung sebelumnya? Itu bukan sekadar formalitas, tapi bagian dari cara ketimuran yang layak dijaga,” kata dia.
Manuver Menjelang 2029
Beberapa analis lokal membaca langkah Ardito sebagai persiapan dini menuju Pilkada 2029. Dengan basis massa NU yang kuat di Lampung Tengah, Golkar berpotensi memperlebar jejaring jika mampu menggabungkan mesin partai dengan figur Ardito.
Namun pertanyaannya: apakah publik masih percaya pada politisi yang dianggap meninggalkan partai pengusungnya? “Kalkulasi politik bisa berhasil, tapi soal kepercayaan publik itu yang paling mahal. Ardito harus hati-hati,” ujar Yusdianto.
pembahruan.id
Editor : Hengki Utama
Sumber Berita: pembahruan.id