Lima Dosen UIN Raden Intan Tembus Forum Akademik Dunia
Kompastuntas.com—Bandar Lampung, di tengah sorotan publik atas mutu riset perguruan tinggi negeri Islam, kabar menggembirakan datang dari Universitas Islam Negeri (UIN RIL) Raden Intan Lampung.
Lima dosennya berhasil lolos sebagai presenter dalam ajang ilmiah internasional paling bergengsi di lingkungan Kementerian Agama, Annual International Conference on Islam, Science, and Society (AICIS+) ke-24 Tahun 2025.
Penetapan itu tertuang dalam SK Dirjen Pendidikan Islam Kemenag Nomor 7181 Tahun 2025. Dari 2.434 abstrak yang masuk dari 31 negara, hanya 234 abstrak yang dinyatakan layak tampil di panggung presentasi. Dan di antara segelintir nama terpilih, ada lima akademisi dari kampus hijau Lampung.
Bagi UIN Raden Intan, capaian ini bukan sekadar tiket tampil di forum akademik. Ada pesan yang lebih besar: riset perguruan tinggi Islam bisa bersaing di level global, bukan hanya di ruang seminar lokal atau jurnal berperingkat rendah.
Tema Besar, Isu Strategis
AICIS+ tahun ini digelar di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Depok, 29–31 Oktober 2025. Momentum ini istimewa, sebab untuk pertama kalinya konferensi tahunan yang sudah berjalan 23 edisi itu tidak lagi digelar di kampus PTKIN, melainkan di universitas Islam yang digadang-gadang sebagai etalase akademik global Indonesia.
Sejak diluncurkan oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar pada Juli lalu, AICIS resmi bertransformasi menjadi AICIS+. “Tanda plus bukan kosmetik,” ujar Nasaruddin. “Ia mencerminkan reposisi intelektual dialog Islam kini harus merambah sains, teknologi, hingga problem kemanusiaan.”
Tema utama edisi ke-24 ini cukup ambisius “Islam, Ekoteologi, dan Transformasi Teknologi Inovasi Multidisipliner untuk Masa Depan yang Adil dan Berkelanjutan.”
Artinya, AICIS+ tidak lagi hanya mengurusi teks klasik atau perdebatan internal Islam, tetapi menantang para akademisi untuk bicara soal krisis iklim, kecerdasan buatan, hingga politik global.
Lima Wajah dari Lampung
Dari Lampung, lima dosen yang melangkah ke panggung internasional itu datang dengan tema riset yang berlapis dan berani:
• Dr. Kiki Muhamad Hakiki, M.A. – meneliti negosiasi identitas etnis dan iman Islam pada komunitas Muslim Baduy.
• Dr. H. Wahyu Iryana, M.Ag. – membedah historiografi Islam dan legitimasi politik dalam konflik Iran–Israel–AS.
• Muhamad Bisri Mustofa, M.Kom.I – mempertanyakan batas manusia dan mesin peran AI versus sentuhan manusia dalam resolusi konflik.
• Vandan Wiliyanti, M.Si. – merancang sistem filtrasi cerdas berbasis IoT dan AI untuk manajemen air wudhu masjid yang berkelanjutan.
• Suci Wulan Pawhestri, M.Si. – mengintegrasikan ekoteologi Islam dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca di kampus.
Rektor UIN RIL, Prof. H. Wan Jamaluddin Z, menyebut capaian ini sebagai bukti kualitas riset kampus. “Ini bukan sekadar kebanggaan individu, melainkan kontribusi nyata kampus Islam dalam menjawab isu global,” ujarnya.
Salah satu peserta, Wahyu Iryana, lebih merendah. “Terpilihnya kami bukan hanya kehormatan, tapi juga tanggung jawab akademik. Semoga bisa membawa nama baik institusi dan daerah,” katanya.
Ujian Konsistensi
Meski membanggakan, capaian ini sekaligus menjadi ujian konsistensi. Sebab, dalam dunia akademik, lolos konferensi hanyalah pintu masuk. Pertanyaan berikutnya: apakah riset ini berlanjut ke publikasi internasional bereputasi, atau sekadar berhenti pada panggung presentasi?
Di titik inilah kampus-kampus Islam negeri, termasuk UIN RIL, sering tersandung. Riset berhenti di meja seminar, tidak sampai menjadi referensi global. Padahal, isu yang diangkat lima dosen tadi mulai dari AI hingga ekologi jelas relevan dengan perdebatan akademik dunia.
Lampung dan Diplomasi Ilmu Pengetahuan
Partisipasi lima dosen ini juga membawa misi diplomasi akademik: memperkenalkan Lampung, sebuah provinsi yang sering dipandang pinggiran dalam peta riset nasional, ke panggung global.
Jika kelima nama ini berhasil membangun jejaring lintas negara, maka UIN RIL bisa menegaskan dirinya sebagai kampus Islam yang serius bertransformasi, bukan sekadar pengumpul sertifikat seminar.
AICIS+ adalah panggung besar. Tapi panggung itu juga menuntut akuntabilitas publik ingin melihat, apakah capaian ini benar-benar berdampak pada pengembangan ilmu dan masyarakat, atau hanya berhenti sebagai kebanggaan sesaat.
Editor : Hengki Utama
Sumber Berita: UINRIL