Kursi, Konflik, dan Kosmetik, Potret 100 Hari Bupati Ardito

Avatar photo

- Jurnalis

Senin, 2 Juni 2025 - 21:12 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kursi, Konflik, dan Kosmetik: Potret 100 Hari Bupati Lamteng

Oleh Rosim Nyerupa
Ketua Puskada Lampung Tengah

Kompastuntas.com— Gunung Sugih, SERATUS hari pertama pemerintahan adalah jendela awal untuk melihat arah dan watak kepemimpinan seorang kepala daerah. Dalam dunia pemerintahan modern, seratus hari bukan semata-mata waktu pendek; ia adalah pernyataan sikap, penegasan prioritas, dan komitmen awal pada reformasi atau stagnasi.

100 hari pertama bukan sekadar angka simbolik. Ia merupakan periode krusial yang menunjukkan arah, keberpihakan, dan cara seorang pemimpin membaca denyut rakyat. Di masa itulah pemimpin benar-benar diuji, apakah ia mampu menjadi lilin harapan atau justru pemantik api kekecewaan.

Sayangnya, dalam kasus Bupati Lampung Tengah, dr. Ardito Wijaya, 100 hari pertama lebih menyerupai panggung simbolik tanpa arah. Tidak ada gagasan besar yang muncul, tidak ada terobosan baru pembangunan yang diumumkan. dan lebih fatalnya, Belum ada keberpihakan yang terasa terhadap masyarakat akar rumput.

Sejak dilantik dan mengikuti Retreat kepala daerah program Presiden, Bupati Ardito terlibat dalam berbagai kegiatan peningkatan kapasitas kepala daerah serta Upaya penyelarasan visi dengan pemerintah pusat. Ia memulai jabatannya melalui konsolidasi internal dan aktivitas simbolik seperti kegiatan bersih-bersih taman kota dikawasan Terbanggi, Bandar Jaya dan Gunungsugih (TERBAGUS).

Konsolidasi internal perangkat daerah dilakukan guna menyatukan semangat dan memastikan mesin pemerintahan dapat memahami dan mampu menterjemahkan visi politik dan agenda pembangunan yang telah dijanjikan kepada publik saat kampanye. Bagi kepala daerah yang baru menjabat, konsolidasi birokrasi adalah hal penting diawal kepemimpinan.

Namun, jika seluruh energi awal kekuasaan hanya dihabiskan untuk seremoni estetika dan koordinasi tertutup, maka rakyat hanya menjadi penonton dari politik panggung yang hampa konten.

Masyarakat tidak akan membutuhkan taman yang bersih jika jalan desa rusak parah. Masyarakat tidak memerlukan selfie kepala daerah di lapangan jika Puskesmas kekurangan dokter dan sekolah kekurangan guru. Simbolisme yang berlebihan, dalam perspektif governance, adalah bentuk lain dari alienasi kekuasaan.

100 hari kerja Bupati Ardito mengingatkan kita dengan 30 Janji Politik yang dicanangkan saat kampanye. Pasangan Ardito-Komang menjanjikan 30 program unggulan yang mencakup sektor pendidikan, infrastruktur, pelayanan publik, Keamanan, kesejahteraan sosial hingga Kesehatan dan pertanian yang belum terlihat.

Didalam 100 hari kerja kepemimpinan Ardito Komang telah melouching program Ardito – Koheri Mengajar (PAKEM) yang diluncurkan dengan narasi besar mendekatkan pemimpin dengan dunia pendidikan. Kegiatan mengajar ini patut diapresiasi sebagai simbol keberpihakan kepala daerah terhadap pendidikan. Namun pertanyaannya, sejauh mana program ini bersifat transformatif dan bukan sekadar simbolik ?. Dalam 100 hari pertama, belum terlihat strategi lanjutan yang lebih struktural seperti peningkatan kualitas guru, penguatan kurikulum lokal, atau digitalisasi sekolah. Jika tidak dikembangkan lebih jauh, PAKEM berpotensi menjadi program populis yang dangkal substansi. Tidak hanya itu, Bupati Ardito diera kepemimpinannya akan menargetkan Lampung Tengah Nol Putus Sekolah kemudian Pendirian kampus agribisnis dan teknik industri jadi serta terobosan lain yang dinanti masyarakat

Salah satu capaian yang cukup nyata dalam 100 hari kerja Bupati Ardito adalah dibidang pembangunan insfrastruktur. Bupati Ardito mulai menghidupkan Islamic Center yang baru rampung tahun lalu. Ini dapat disebut sebagai langkah positif dalam pengelolaan aset daerah, tetapi kerja tersebut masih bersifat parsial dan belum menyentuh perencanaan kawasan terpadu. Pembangunan Islamic center dimulai sejak kepemimpinan Bupati Mustafa, Diera Bupati Musa pembangunan dilangsungkan dalam beberapa tahap. Gedung tersebut bukan terbengkalai, Tapi tahap pembangunannya memang belum selesai.
Bupati Ardito harus meneruskan Pembangunan Islamic center sampai selesai, Sehingga Islamic Center dapat menambah icon Lampung Tengah yang tidak hanya bermanfaat dari segi fungsi melainkan dapat menghidupkan kegiatan sosial keagamaan, objek wisata religious sehingga mampu membuka peluang usaha bagi UMKM disana.

Baca Juga :  Gempuran Pemprov Lampung ke Tambang Ilegal: Bukan Sekadar Segel, Ini Tanda Perang Terbuka

Sementara, Pembangunan insfrastruktur jalan dibanyak tempat dalam 100 hari kerja Bupati Ardito memang belum bergeliat, Meski sudah ada ruas jalan yang sedang diperbaiki, Akan tetapi ingatan masyarakat terhadap janji politik Bupati Ardito soal infrastruktur jalan masih tajam diingatan, Bupati Ardito akan ditagih janjinya untuk menggelontorkan Rp. 400 M tiap tahun untuk perbaikan infrastruktur jalan. Meskipun jika dilihat APBD Lampung Tengah 2025 tercatat sebesar Rp. 2,96 triliun, dengan pendapatan daerah sebesar Rp. 2,96 triliun dan belanja daerah sebesar Rp 2,97 triliun, Dengan kemampuan fiskal yang terbatas dan beban belanja wajib yang besar, janji ini tampak terlalu ambisius tanpa didukung strategi penggalian sumber dana baru secara realistis. Hingga hari dalam 100 hari kerja, belum ada kebijakan konkret untuk reformasi pajak daerah, peningkatan retribusi, atau kerja sama investasi yang signifikan.

Konflik Gunung Agung dan Konflik Lahan di Anak Tuha

Dalam waktu yang nyaris bersamaan dengan kegiatan kosmetik pemerintah daerah, terjadi tragedi sosial konflik masyarakat di Gunung Agung pecah menjadi bentrok fisik yang memakan korban. Ironisnya, kepala daerah tak menunjukkan kepemimpinan aktif dalam menyelesaikan atau mencegah konflik horizontal ini.

Suara rakyat dibungkam dengan kekerasan. Seorang warga Kampung Gunung Agung, tewas ditikam oleh kerabat dekat Kepala Kampung sendiri, setelah terlibat adu mulut soal dugaan korupsi beras bantuan sosial (bansos). Tragedi ini menjadi puncak dari bara konflik sosial yang telah lama membara di Lampung Tengah sejak.

Peristiwa berdarah ini menguak lemahnya pengawasan terhadap aparatur kampung, ketimpangan distribusi bantuan, serta ketidakmampuan pemerintah daerah membaca dan merespons gejala sosial.

Lambatnya gerak Bupati Ardito dan pemerintah daerah menunjukkan kepekaan sosial yang tumpul. Saat rakyat berteriak soal hak dasar, seperti bantuan sosial, yang datang bukan perlindungan, tapi pembiaran.

Konflik horizontal tidak muncul secara tiba-tiba. ia merupakan manifestasi dari akumulasi ketidakadilan struktural yang dibiarkan tanpa intervensi yang memadai. Kesenjangan ekonomi, sosial, dan politik antar kelompok bukan hanya memicu kecemburuan sosial, tetapi juga menciptakan rasa keterasingan dan marginalisasi yang menjadi bahan bakar konflik.

Sebelum peristiwa Gunung Agung meledak, Sebulan setelah dilantik, Bupati Ardito didemo masyarakat Anak Tuha yang menuntut agar Bupati dapat menyelesaikan sengketa lahan HGU PT. BSA. Bupati Ardito jadi satu-satunya kepala daerah di Indonesia yang didemo dan kantornya digruduk Masyarakat. Meskipun Bupati dan Wakil Bupati menolak menemui masa aksi, Melalui utusannya, Bupati Ardito menjanjikan pembentukan tim khusus untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut, Namun setelah sebulan pasca demontrasi warga hingga hari ke-100, Publik belum melihat transparan mengenai progres kerja tim tersebut.

Penanganan yang lambat atas konflik agraria menunjukkan lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat kecil, sekaligus menjadi indikator rendahnya responsivitas terhadap masalah struktural.

Pemotongan Insetif Aparatur Kampung dan Linmas

Sebulan setelah pelantikan, Pemerintah ditingkat kampung dikejutkan realitas kebijakan pemotongan insentif aparatur kampung dan linmas dengan dalih untuk mensiasati pembayaran gaji RT oleh Bupati.

Tunjangan Kepala Kampung dipangkas dari Rp 1.500.000 menjadi Rp 1.000.000. Sekretaris kampung dari Rp 100.000 menjadi Rp 50.000. Ketua BPK dari Rp 500.000 menjadi Rp 400.000, dan anggota BPK dari Rp 400.000 menjadi Rp 250.000. Bahkan Linmas yang kerap dianggap garda terdepan dalam keamanan lingkungan pun tak luput: Danton dari Rp 250.000 menjadi Rp 200.000, dan anggota dari Rp 200.000 menjadi Rp 150.000.

Baca Juga :  Mas Dito Tidak Mengakui Menitipkan Adek Ipar Tapi Hanya Berpesan Saja Ketimsel

Alih-alih membangun antusiasme kolektif di awal kepemimpinan, Bupati Ardito Wijaya justru menurunkan semangat dan loyalitas aparatur kampung dengan kebijakan tersebut. Sedangkan, 30 Janji kerja Ardito Koheri yang digadang-gadang didepan rakyat saat Pilkadasangat jelas menjamin insentif Bhabinkamtibmas, Bhabinsa, Guru ngaji dan Marbot masjid termasuk aparatur kampung. Bagaimana mungkin insentif ini bisa terwujud, Jika insentif aparatur kampung termasuk Linmas saja dikurangi.

Isu Jual Beli Jabatan Semakin Menguat

Sejak awal dilantik, Publik tidak melihat bagaimana komitmen Bupati Ardito mewujudkan clean governance, tata kelola pemerintahan yang bersih. Apalagi ditengah isu berkembang yang sedang hangat diperbincangkan baik dikalangan ASN maupun masyarakat terkait dugaan praktik jual beli jabatan yang melibatkan lingkar kekuasaan Bupati Ardito.

Isu dugaan praktik jual beli jabatan muncul dan berkembang tidak serta-merta tanpa dasar, Ia tumbuh dari serangkaian gejala birokratis yang mencurigakan. Namun hal ini dapat dipatahkan apabila Bupati Lampung Tengah dapat menepis melalui saranan pertemuan ASN baik pada daat apel pagi maupun pertemuan didalam ruangan menolak secara tegas segala bentuk praktik jual beli jabatan dilingkungan Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah. Sayangnya, selama tiga bulan menjabat, hal itu tidak terlihat.

Polemik Seleksi Sekda, Dua Kakak Adik Kandung Adik Ipar Bupati

Puncak dari segala kekeliruan tata kelola adalah seleksi Sekretaris Daerah (Sekda) yang diduga kuat telah dibajak oleh lingkar keluarga kekuasaan. Beredar luas di kalangan birokrasi dan masyarakat Lampung Tengah bahwa dua kakak-adik kandung adik ipar Bupati Ardito disiapkan untuk menduduki jabatan Sekda atau posisi strategis lain.

Jika ini benar, maka yang terjadi bukan hanya pelanggaran etik birokrasi, melainkan pembangkangan terhadap prinsip meritokrasi dan pengkhianatan terhadap reformasi birokrasi. Seleksi Sekda yang semestinya menjadi forum adu kualitas dan rekam jejak justru dipakai sebagai arena konsolidasi dinasti.

Indikasi adanya skema konsolidasi kekuasaan dalam balutan prosedur administratif. Ini bertentangan dengan UU ASN No. 5 Tahun 2014 yang secara eksplisit menolak konflik kepentingan dan menuntut seleksi yang adil, terbuka, dan berbasis kompetensi.

Dalam kerangka teori Good Governance, seleksi jabatan publik seharusnya memenuhi unsur transparansi, akuntabilitas, dan bebas dari intervensi kekuasaan pribadi. Pemerintahan berbasis keluarga adalah musuh dari demokrasi lokal. Ia mematikan kompetensi, melemahkan moral aparatur, dan menciptakan kultur bisu dalam birokrasi, Negara tidak boleh kalah dengan klan.

Pada akhinya, Jika boleh dirumuskan dalam satu kalimat, maka 100 hari Bupati Ardito adalah Pemerintahan yang sibuk mengatur kursi kekuasaan dan menata taman, tapi lupa rakyat yang menanti. Menunaikan 30 janji kerja, Tidak ada arah pembangunan, tidak ada perbaikan layanan dasar, dan tidak ada transparansi dalam kebijakan strategis. Yang muncul justru suara jeritan dari aparatur kampung, keluhan dari RT yangbelum digaji, Tuntutan masyarakat anak tuha terkait konflik tanah, meledaknya konflik Gunung Agung karena masalah bansos, mencuatnya isu dugaan jual beli jabatan. Pemerintah Daerah yang gagal memberi makna pada 100 harinya, adalah pemerintah daerah yang sedang mempercepat delegitimasinya sendiri.

Editor : Hengki Utama

Berita Terkait

Rosim Nyerupa Sebut Pelantikan Sekda Lamteng Sebagai Ritual Kekuasaan Resmikan Dinasti
Rosim Nyerupa Tanggapi Sindiran Bupati, Pemimpin Harus Dewasa Dalam Demokrasi
Sebanyak 7.046 Calon Haji Lampung Berada di Tanah Suci, Pemerintah Siapkan Skema Khusus untuk Lansia
Diduga Bupati Ardito Halalkan Nepotisme dan Transaksi Jabatan di Lampung Tengah
Ketua DPRD Tubaba Murka, Tuding Kepala BNN Lamtim Serobot Aset Daerah Tanpa Dasar
Belum 100 Hari Masa Jabatan, Ardito Sudah Beri Kejutan Getir
Gempuran Pemprov Lampung ke Tambang Ilegal: Bukan Sekadar Segel, Ini Tanda Perang Terbuka
Antusiasme Wajib Pajak Lamtim Melonjak: Pemutihan Pajak Jadi Magnet, Bukan Sekadar Stimulus
Berita ini 76 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 10 Juni 2025 - 09:30 WIB

Rosim Nyerupa Sebut Pelantikan Sekda Lamteng Sebagai Ritual Kekuasaan Resmikan Dinasti

Sabtu, 31 Mei 2025 - 16:38 WIB

Rosim Nyerupa Tanggapi Sindiran Bupati, Pemimpin Harus Dewasa Dalam Demokrasi

Rabu, 28 Mei 2025 - 20:32 WIB

Sebanyak 7.046 Calon Haji Lampung Berada di Tanah Suci, Pemerintah Siapkan Skema Khusus untuk Lansia

Kamis, 15 Mei 2025 - 10:28 WIB

Diduga Bupati Ardito Halalkan Nepotisme dan Transaksi Jabatan di Lampung Tengah

Jumat, 9 Mei 2025 - 19:09 WIB

Ketua DPRD Tubaba Murka, Tuding Kepala BNN Lamtim Serobot Aset Daerah Tanpa Dasar

Berita Terbaru