Isbedy Stiawan ZS Raih Juara II Sayembara Puisi Esai Antarbangsa di Sabah
Kompastuntas.com—Tanjung Karang, penyair kawakan asal Lampung, Isbedy Stiawan ZS, kembali mengharumkan nama Indonesia di kancah sastra Asia Tenggara. Karya puisinya yang berjudul “Wadas, Apakah Kita Masih Satu Tanah Air?” berhasil menyabet Juara II dalam Sayembara Puisi Esai Antarabangsa ke-4 yang digelar di Sabah, Malaysia.
Pengumuman pemenang disampaikan langsung oleh Presiden Komunitas Puisi Esai ASEAN, Dato’ Jasni Matlani, pada Kamis (26/6) sore waktu Malaysia. “Setinggi-tinggi tahniah kepada semua pemenang Sayembara/Lomba Menulis Puisi Esai 2025… hadiah akan disampaikan oleh YB Datuk Dr. Mohd Arifin, Menteri Sains Teknologi dan Inovasi Sabah, di Hotel Horizon, Kota Kinabalu,” ujarnya lewat siaran resmi.
Dalam daftar pemenang, Isbedy menjadi satu-satunya sastrawan Indonesia yang menembus kategori hadiah utama. Ia bersanding dengan para penulis dari Malaysia, termasuk juara pertama Beatres Petrus (Sabah) dengan karya “Antara Wajah dan Wibawa”, serta juara ketiga Jaya Ramba (Sarawak) dengan puisi “Datin Seri yang Hilang di Tengah-Tengah Kota Raya.”
Saat dihubungi pada Kamis malam, Isbedy tak menutupi rasa harunya. “Alhamdulillah, saya diberi kabar selepas Magrib oleh Fatin Hamama dari Sabah. Syukur, saya bisa mengharumkan nama Indonesia, meski hanya di posisi kedua,” ujarnya.
Sayembara ini bukan pertama kalinya menjadi ajang kemenangan bagi penyair yang dijuluki “Paus Sastra Lampung” itu. Dalam gelaran sebelumnya, puisi esainya yang mengangkat kisah Balinuraga, Lampung Selatan, juga pernah meraih posisi ketiga. “Dulu panjangnya minimal lima halaman. Sekarang berubah jadi puisi esai mini,” kata Isbedy, menyinggung evolusi format puisi esai dalam sayembara ini.
Panitia juga memberikan penghargaan sagu hati kepada sejumlah penyair dari berbagai negara ASEAN, di antaranya D. Kemalawati (Aceh), Ririe Aiko (Bandung), Hamri Manoppo (Sulawesi Utara), serta penyair kenamaan Jodhi Yudono (Jakarta). Sementara dari Malaysia dan Brunei, muncul nama-nama seperti Sasjira, Miz Adlina Batrisiya, Hanom Ibrahim, hingga Dr. Khadizah binti Haji Abdul Mumin.
Bagi Isbedy, kemenangan ini bukan sekadar pencapaian pribadi, tapi juga pengingat bahwa puisi—terutama puisi esai—tetap relevan dalam membaca situasi sosial dan politik di tengah pusaran zaman. “Puisi esai memberi ruang untuk menyuarakan keresahan secara tajam tapi puitis. Saya kira ini medium yang tak bisa diabaikan,” ujarnya mantap.
Sayembara ini semakin mengukuhkan posisi Isbedy dalam lanskap sastra Asia Tenggara. Bukan hanya sebagai penyair produktif, tetapi juga sebagai suara kritis yang menembus batas negara dengan bahasa yang lentik sekaligus menggugah.
Editor : Hengki Utama