Belum 100 Hari Masa Jabatan, Ardito Sudah Beri Kejutan Getir

Avatar photo

- Jurnalis

Kamis, 8 Mei 2025 - 16:38 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Belum 100 Hari Masa Jabatan, Ardito Sudah Beri Kejutan G

Belum 100 Hari Masa Jabatan, Ardito Sudah Beri Kejutan G

Kompastuntas.com— Gunung Sugih. Dalam ilmu kepemimpinan publik, ‘masa 100 hari pertama’ bukan sekadar angka simbolik. Ia merupakan periode krusial yang menunjukkan arah, keberpihakan, dan cara seorang pemimpin membaca denyut rakyat. Di masa itulah pemimpin diuji: apakah ia mampu menjadi lilin harapan atau justru pemantik api kekecewaan. Di Lampung Tengah hari ini, pertanyaan itu dijawab dengan getir oleh realitas kebijakan.

Alih-alih membangun antusiasme kolektif di awal kepemimpinan, Bupati Ardito Wijaya justru menurunkan semangat dan loyalitas aparatur kampung dengan kebijakan pemotongan insentif. Keputusan ini menyentuh seluruh lapisan perangkat kampung: dari Kepala Kampung, Sekretaris, Ketua dan Anggota BPK, hingga Linmas.

Tunjangan Kepala Kampung dipangkas dari Rp 1.500.000 menjadi Rp 1.000.000. Sekretaris kampung dari Rp 100.000 menjadi Rp 50.000. Ketua BPK dari Rp 500.000 menjadi Rp 400.000, dan anggota BPK dari Rp 400.000 menjadi Rp 250.000. Bahkan Linmas yang kerap dianggap garda terdepan dalam keamanan lingkungan pun tak luput: Danton dari Rp 250.000 menjadi Rp 200.000, dan anggota dari Rp 200.000 menjadi Rp 150.000.

Lebih ironis lagi, pemotongan siltap kepala kampung bulan Januari juga langsung disertai pemotongan BPJS Kesehatan selama 12 bulan ke depan. Semuanya dilakukan dengan dalih mensiasati pembiayaan insentif RT yang sampai saat ini belum juga terbayar.

Jika ditelaah secara akademis, kebijakan ini adalah contoh dari ‘policy shock’ yang kontraproduktif. Dalam teori ‘legitimasi birokrasi’ Weberian, kepercayaan publik terhadap pemimpin dibentuk oleh konsistensi antara janji dan realisasi kebijakan. 30 janji kerja Ardito – Koheri saat kampanye termasuk soal peningkatan kesejahteraan aparatur kampung kini tidak hanya gagal ditepati, tetapi justru dilangkahi dengan kebijakan pemangkasan diawal jabatan. Tidak hanya bicara aparatur kampung, 30 Janji kerja Ardito Koheri yang digadang-gadang didepan rakyat saat Pilkada juga menyebutkan soal insentif Bhabinkamtibmas, Bhabinsa, Guru ngaji dan Marbot masjid. Bagaimana mungkin insentif ini bisa terwujud, Jika insentif aparatur kampung termasuk Linmas saja dikurangi.

Baca Juga :  Panglima TNI Batalkan Mutasi 7 Pati Termasuk Letjen Kunto Arief Wibowo

Pemangkasan ini bukan hanya soal angka, ia menyentuh ranah keadilan distributif. Teori ‘distributive justice’ dari John Rawls menegaskan bahwa ketimpangan hanya bisa dibenarkan jika menguntungkan kelompok paling rentan. Dalam kasus ini, justru kelompok rentan yakni aparatur kampung dengan penghasilan tetap rendah yang dijadikan objek pengurangan.

Dari kacamata ‘public administration’ keputusan ini juga menabrak prinsip dasar ‘creating public value’ sebagaimana dirumuskan oleh Mark Moore. Sebuah kebijakan publik semestinya memperkuat kepercayaan warga, menyeimbangkan distribusi manfaat, dan mendukung kinerja aparatur. Tapi pemotongan ini justru melemahkan semangat kerja di level paling mendasar pemerintahan yaitu Pemerintah Desa.

Teori motivasi Herzberg pun memberi peringatan: ketika faktor ‘hygiene’ seperti insentif dan jaminan sosial diabaikan, maka yang timbul bukan hanya ketidakpuasan, tetapi penurunan kinerja. Aparatur yang merasa dikorbankan akan kehilangan ‘sense of ownership’ terhadap program kepala daerah. Maka, kita bisa membayangkan: bagaimana mungkin visi pembangunan daerah dijalankan optimal 5 tahun kedepan, jika para pelaksana teknisnya merasa dimarjinalkan ?.

Di sisi lain, pemotongan ini juga menyisakan luka simbolik. Diawal jabatan pemerintah daerah telah gagal membaca bahwa aparatur kampung bukan sekadar pelaksana administratif. Mereka adalah wajah negara di level paling dekat dengan rakyat. Dalam kerangka sosiologis, relasi antara pemimpin dan aparat lokal adalah jaringan kepercayaan yang dibangun dari kehadiran, penghargaan, dan keadilan.

Baca Juga :  Manuver Hukum Kepala BKPSDM Metro Dinilai sebagai Strategi Alih Isu

Saya khawatir, jika langkah ini terus dipertahankan, maka akan muncul apa yang disebut ‘silent resistance’. penolakan pasif, loyalitas semu, dan melemahnya dukungan terhadap kebijakan daerah. Pemerintahan yang bertumpu pada ketidakpuasan aparat, ibarat rumah yang dibangun di atas pasir.

Ketika janji kampanye tidak direalisasikan, bahkan yang terjadi justru mengurangi hak aparat, maka kepercayaan publik pun mulai goyah. Kepemimpinan yang kehilangan kepercayaan hanya akan menghasilkan birokrasi pasif: hadir secara fisik, namun absen secara semangat.

Jika benar insentif RT ingin diperkuat, seharusnya bukan dengan mengorbankan aparatur yang telah lama berjibaku dalam senyap. Solusinya bukan pengalihan yang merugikan satu pihak, tetapi optimalisasi alokasi anggaran belanja daerah dengan mempertimbangkan nilai kerja dan dampak sosial dari setiap rupiah yang dikeluarkan.

Pada akhirnya, menjadi Bupati bukan soal mengatur APBD, tetapi mengelola kepercayaan dan harapan. Di sinilah seni kepemimpinan diuji, apakah mampu berdiri bersama yang kecil, atau justru mencederai yang setia.

Sudah waktunya pemerintah daerah, khususnya Bupati Ardito, melakukan refleksi menyeluruh. Apakah langkah ini benar-benar mendukung atau hanya akan menambah panjang daftar kekecewaan publik? Jika alasannya efesiensi karena keterbatasan anggaran tapi mengapa insentif bupati sebesar Rp. 30 juta dan Wakil Bupati Rp. 20 juta tiap bulan tidak dikurangi atau dihilang ?. Maka pendekatannya harus partisipatif dan transparan, bukan sepihak dan mengejutkan.

Pemimpin bisa membuat banyak kebijakan. Tapi hanya sedikit yang benar-benar dikenang. Pemimpin besar dikenang bukan karena keberaniannya memotong tunjangan, tetapi karena keberaniannya memperjuangkan yang lemah di tengah keterbatasan. Sayangnya, jika tidak ada perbaikan, pemotongan insentif ini akan menjadi salah satu kebijakan yang dikenang—dengan getir.

Penulis : Rosim Nyerupa

Editor : Hengki Padangratu

Berita Terkait

Rosim Nyerupa Sebut Pelantikan Sekda Lamteng Sebagai Ritual Kekuasaan Resmikan Dinasti
Kursi, Konflik, dan Kosmetik, Potret 100 Hari Bupati Ardito
Rosim Nyerupa Tanggapi Sindiran Bupati, Pemimpin Harus Dewasa Dalam Demokrasi
Sebanyak 7.046 Calon Haji Lampung Berada di Tanah Suci, Pemerintah Siapkan Skema Khusus untuk Lansia
Diduga Bupati Ardito Halalkan Nepotisme dan Transaksi Jabatan di Lampung Tengah
Ketua DPRD Tubaba Murka, Tuding Kepala BNN Lamtim Serobot Aset Daerah Tanpa Dasar
Gempuran Pemprov Lampung ke Tambang Ilegal: Bukan Sekadar Segel, Ini Tanda Perang Terbuka
Antusiasme Wajib Pajak Lamtim Melonjak: Pemutihan Pajak Jadi Magnet, Bukan Sekadar Stimulus
Berita ini 267 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 10 Juni 2025 - 09:30 WIB

Rosim Nyerupa Sebut Pelantikan Sekda Lamteng Sebagai Ritual Kekuasaan Resmikan Dinasti

Senin, 2 Juni 2025 - 21:12 WIB

Kursi, Konflik, dan Kosmetik, Potret 100 Hari Bupati Ardito

Sabtu, 31 Mei 2025 - 16:38 WIB

Rosim Nyerupa Tanggapi Sindiran Bupati, Pemimpin Harus Dewasa Dalam Demokrasi

Rabu, 28 Mei 2025 - 20:32 WIB

Sebanyak 7.046 Calon Haji Lampung Berada di Tanah Suci, Pemerintah Siapkan Skema Khusus untuk Lansia

Kamis, 15 Mei 2025 - 10:28 WIB

Diduga Bupati Ardito Halalkan Nepotisme dan Transaksi Jabatan di Lampung Tengah

Berita Terbaru