Audit HGU, Jangan Jadikan SGC Kambing Hitam
Oleh Rosim Nyerupa
Koordinator Aliansi Lampung Bergerak
Kompastuntas.com— Gunung Sugih, apakah negara sungguh-sungguh ingin menata ulang tata kelola pertanahan secara adil, atau sekadar mencari sasaran tembak untuk menenangkan opini publik? Pertanyaan ini mencuat ketika desakan pengukuran ulang Hak Guna Usaha (HGU) terhadap PT Sugar Group Companies (SGC) digaungkan Komisi II DPR RI dan menjadi sorotan sepihak di ruang publik.
Langkah audit tentu sah secara hukum. Tetapi, ketika audit dilakukan dengan pendekatan yang diskriminatif, hanya menyasar satu korporasi, dan mengabaikan perusahaan-perusahaan lain yang menguasai lahan jauh lebih luas, maka yang muncul bukan keadilan, melainkan persepsi ketidakadilan yang berbahaya.
Audit HGU atau Pembingkaian Politik?
SGC bukan satu-satunya korporasi raksasa di Lampung. Kita tahu bahwa banyak entitas bisnis lain juga menguasai ribuan hektare lahan HGU: Sinar Mas Group, Sungai Budi Group, Gajah Tunggal, Great Giant Pineapple (GGP), Gunung Madu Plantation (GMP), dan lainnya.
Namun, mengapa hanya SGC yang disorot? Jika DPR RI betul-betul ingin membenahi tata kelola HGU, seharusnya seluruh HGU perusahaan besar diukur ulang secara menyeluruh, serentak, dan transparan. Jika tidak, maka patut diduga ada motif lain yang tersembunyi di balik kampanye audit sepihak ini, entah tekanan politik, kepentingan ekonomi, atau sekadar pembingkaian untuk konsumsi publik.
Mengabaikan Konteks Sosial
Apa pun motifnya, pendekatan yang setengah hati seperti ini menyingkirkan satu aspek paling penting dari kebijakan publik, dampak sosial.
PT SGC saat ini menopang lebih dari 60.000 pekerja, mulai dari petani plasma, buruh panen, sopir truk tebu, operator pabrik, hingga pelaku UMKM di sekitar Tulang Bawang dan Lampung Tengah.
Narasi audit yang tidak adil dan mengarah pada stigmatisasi korporasi tertentu dapat memicu kekhawatiran yang nyata di tingkat akar rumput: ancaman PHK massal, terganggunya distribusi ekonomi lokal, hingga konflik sosial yang tidak perlu.
Ketika kebijakan negara menciptakan ketidakpastian, yang pertama kali terpukul bukanlah elite, tapi rakyat kecil.
Keadilan yang Parsial adalah Ketidakadilan
Kami tidak menolak audit. Kami mendukung penataan ulang HGU yang adil dan akuntabel. Tapi keadilan tidak bisa bersifat selektif. Audit yang menyasar satu perusahaan, sementara perusahaan lain dibiarkan lolos dari sorotan, bukanlah penegakan hukum melainkan pembenaran atas ketidakadilan.
Jika memang ada pelanggaran yang dilakukan SGC, buka dan proses secara hukum. Tapi jangan jadikan mereka sebagai satu-satunya “musuh bersama”, hanya karena mereka lebih populer, lebih besar, atau lebih mudah dimobilisasi dalam narasi media.
Pendekatan seperti ini akan menciptakan efek jera yang salah kaprah perusahaan yang besar dan terbuka malah dipukul lebih keras dibanding perusahaan yang tertutup dan tidak transparan.
Jaga Lampung, Jaga Iklim Usaha
Lampung hari ini tengah bergerak membangun iklim investasi. Tapi semua itu bisa runtuh jika negara tidak mampu memberi kepastian hukum yang adil dan non diskriminatif.
Investor tidak takut pada audit, tapi mereka takut pada kebijakan yang berubah-ubah, tak konsisten, dan dijalankan secara politis.
Jika hari ini satu perusahaan disorot tanpa dasar yang jelas, maka esok hari siapa pun bisa menjadi target selanjutnya. Ini bukan sekadar soal SGC. Ini tentang wajah keadilan agraria kita hari ini.
Tutup dengan Sikap, Buka Jalan Solusi
Atas dasar itu, kami menyatakan:
1. Pengukuran ulang HGU harus dilakukan secara menyeluruh, bukan parsial.
2. Pemerintah dan DPR RI harus berhenti membentuk opini sepihak terhadap satu korporasi.
3. Audit harus berbasis data, bukan tekanan atau framing politik.
4. Jaga iklim usaha Lampung agar tetap kondusif bagi lapangan kerja dan pertumbuhan daerah.
5. Dan yang terpenting, jangan jadikan rakyat sebagai collateral damage dari manuver elite.
Karena keadilan tidak boleh lahir dari tekanan. Ia harus tumbuh dari niat tulus memperbaiki, bukan menghukum secara sepihak.
Editor : Hengki Utama