Pemilihan Rektor, Antara Membangun Opini dan Pembusukan Karakter?
Kompastuntas.com— Metro, Dalam setiap dinamika pemilihan rektor (Pilrek), kita tidak hanya melihat suatu proses administrasi dan politik kampus, tetapi juga sebuah pertarungan antara dua kekuatan yang sering kali tersembunyi di balik layar: membangun opini dan membusukkan karakter. Seperti dalam sebuah perjalanan panjang, Pilrek adalah rute yang menuntut kita untuk lebih bijaksana dalam menilai siapa yang pantas memimpin, dan siapa yang pantas hanya menjadi pengamat. Namun, dalam perjalanan ini, tidak jarang kita menemui jebakan yang memecah antara kebenaran dan kebohongan, integritas dan pencitraan, yang akhirnya berdampak pada pembusukan karakter.
Bayangkan sebuah desa yang damai. Suatu hari, seorang pemuda datang dengan membawa berbagai cerita indah tentang bagaimana dia akan membangun desa itu dengan mengubah tanah yang tandus menjadi ladang subur dan membangun jembatan yang menghubungkan desa-desa di sekitarnya.
Namun, semakin lama, desas-desus mulai beredar tentang sifatnya yang arogan, yang tak sesuai dengan kisah-kisah indah yang ia ceritakan. Ada yang mulai menyebarkan cerita tentang masa lalunya, menggali setiap detail kecil yang bisa dijadikan bahan untuk merusak reputasinya. Di balik tawaran janjinya yang muluk, karakter sang pemuda mulai dipertanyakan.
Inilah yang terjadi dalam Pilrek, di mana opini publik sering kali dibangun di atas kisah-kisah yang menarik, namun terkadang dilengkapi dengan distorsi yang lebih menonjolkan sisi negatif seseorang daripada potensi kepemimpinannya.
Pembusukan karakter bukan hanya soal menyerang personal seseorang, tetapi lebih kepada mengaburkan tujuan yang lebih besar: menciptakan pemimpin yang berkualitas. Proses ini lebih mirip dengan menggali kuburan reputasi calon pemimpin, untuk kemudian memakannya sedikit demi sedikit, meninggalkan mereka dalam keadaan hancur dan kehilangan arah. Ketika pembusukan ini diterima, opini publik pun terbentuk dengan kesalahan-kesalahan yang akhirnya menjadi “kenyataan” bagi banyak orang.
Namun, di balik semua itu, Pilrek yang sehat seharusnya menjadi arena untuk membangun opini yang adil dan berimbang. Memang, tidak ada yang dapat menghindari opini, karena setiap orang memiliki perspektif yang berbeda. Tapi, bagaimana membangun opini yang benar-benar membangun? Sebuah opini yang melihat kualitas seorang calon pemimpin dengan jernih, mengedepankan kebijakan yang substansial, dan tidak jatuh dalam perangkap pencitraan yang sesaat.
Dalam pandangan filosofis, pertempuran antara membangun opini dan pembusukan karakter adalah sebuah dilema tak etis yang kita hadapi sebagai bagian dari masyarakat akademik. Bukan hanya tentang memilih siapa yang akan menjadi pemimpin, tetapi juga tentang bagaimana kita, sebagai individu dan kelompok, berperan dalam proses itu. Dalam suatu masyarakat yang beradab, opini seharusnya dibangun berdasarkan pertimbangan yang mendalam berdasarkan rekam jejak, kemampuan, visi, dan bukan berdasarkan rumor atau serangan pribadi yang mengarah pada pembusukan karakter.
Inilah yang harus kita ingat: ketika membangun opini, kita tidak hanya membentuk citra seseorang, tetapi juga mendefinisikan bagaimana kita melihat masa depan. Sebaliknya, ketika kita terjebak dalam pembusukan karakter orang lain, kita tidak hanya menghancurkan seseorang, tetapi juga merusak prinsip dasar yang seharusnya menjadi landasan dalam memilih pemimpin yang adil, berintegritas, dan memiliki visi untuk kemajuan bersama.
Sebagai masyarakat akademik, kita harus mengingat bahwa Pilrek bukanlah sekadar ajang perebutan kekuasaan, melainkan sebuah proses pemilihan yang menentukan arah dan nasib masa depan kita. Oleh karena itu, membangun opini yang adil dan tidak terjebak pada pembusukan karakter lain adalah kewajiban kita untuk menjaga martabat dan kredibilitas pendidikan kita. Sebab, dalam dunia yang penuh dengan informasi yang cepat tersebar, opini yang sehat akan lebih bernilai daripada sekadar kecenderungan untuk menghancurkan karakter seseorang demi kepentingan sesaat.
Diakhir tulisan singkat ini, penulis hanya ingin menganalogikan orang atau kelompok lain dengan seorang kebun yang tidak bertanggungjawab. Seperti ini analoginya: “ada tukang kebun lain yang merasa bahwa tanaman di kebun tetangganya ini akan lebih unggul jika tumbuh dengan baik.
Alih-alih merawat tanamannya sendiri dengan penuh perhatian, ia mulai menginjak-injak dan merusak akar tanaman tetangganya. Ia menyiram tanah di sekitar tanaman tersebut dengan racun halus, berharap agar tanaman itu tidak berkembang dan akhirnya mati. Sambil melakukan itu, ia menyebarkan cerita tentang bagaimana tanaman itu terlihat rapuh dan tidak akan bertahan lama di bawah sinar matahari. Ia berusaha meyakinkan orang-orang di sekitarnya bahwa tanaman tersebut tidak layak tumbuh di kebun itu, meskipun tanaman itu sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa.
Tukang kebun ini lebih fokus pada menghancurkan kebun tetangga daripada merawat kebunnya sendiri. Ia tidak melihat bahwa tindakan tersebut hanya merusak ekosistem kebun secara keseluruhan, menyebabkan kekacauan dan ketidakadilan. Jika semua orang mulai melakukan hal yang sama-merusak dan membusukkan tanaman satu sama lain-maka seluruh kebun akan runtuh, dan tak ada lagi ruang untuk pertumbuhan yang sehat”.
Dan diakhir tulisan ini juga Penulis akan mengutip Firman Allah SWT dalam surat Al-Hujurat ayat 12 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik.
Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”
Demikianlah, mereka yang melakukan pembusukan karakter terhadap calon lain dalam Pilrek tidak hanya merusak reputasi individu yang mereka serang, tetapi juga merusak kualitas proses pemilihan itu sendiri, menciptakan suasana yang penuh dengan ketidakpercayaan dan kebencian. Pada akhirnya, yang hancur bukan hanya calon yang mereka serang, tetapi lembaga yang seharusnya tumbuh dan berkembang dengan penuh potensi.