Mie Gacoan, Musik Gratis, dan Jerat Hukum yang Mengintai
Kompastuntas.com—Ini belum terjadi di Provinsi Lampung, masih terjadi di pulau Bali. Ribuan lagu mengalun nyaris tanpa jeda di gerai-gerai Mie Gacoan. Dari pop melankolis hingga dangdut koplo, musik menjadi bumbu pelengkap semangkuk mie pedas di meja pelanggan. Tapi di balik denting nada yang meriah itu, terendus praktik bisnis yang mengabaikan hukum pemanfaatan karya cipta tanpa izin.
Direktur PT Mitra Bali Sukses, I Gusti Ayu Sasih Ira, kini harus duduk sebagai tersangka. Perusahaan yang ia nahkodai pemegang lisensi waralaba Mie Gacoan di Bali dipolisikan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) atas tuduhan pelanggaran Undang-Undang Hak Cipta.
Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, menyebut Gacoan tak pernah membayar royalti untuk ribuan lagu yang diputar sejak 2022. “Ini bukan kelalaian biasa. Ini pembangkangan terhadap hak moral dan ekonomi pencipta lagu,” ujar Dharma saat dihubungi, Selasa (22/7).
Berdasarkan SK Kementerian Hukum dan HAM Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, royalti dihitung dari jumlah kursi × Rp120 ribu × 1 tahun × jumlah outlet. Hitungan sederhana ini berubah jadi bom waktu, potensi kerugian negara dan para pencipta lagu ditaksir mencapai miliaran rupiah.
Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Bali menyebut penyidikan masih berjalan. Sejumlah saksi terus dimintai keterangan. Kombes Teguh Widodo menegaskan, meski status tersangka sudah disematkan, Ira belum ditahan.
“Belum ditahan, tapi kasus ini terus berproses,” ujar Teguh.
Kasus ini bukan sekadar perkara royalti. Ia membuka lubang besar di sektor industri kuliner yang sering menganggap remeh soal hak cipta. Gacoan, sebagai jaringan waralaba makanan yang ekspansinya masif di berbagai daerah, bisa menjadi contoh buruk bila dibiarkan.
Bila di Bali saja penegakan hukum bisa menjalar sejauh ini, bukan tak mungkin kasus serupa mengendap di kota-kota lain. Termasuk di Lampung. Hingga kini, belum ada laporan terbuka mengenai pembayaran royalti oleh pengelola Gacoan di wilayah ini. Namun gerai-gerai mereka yang ramai, lengkap dengan iringan musik nonstop, menyisakan tanda tanya apakah royalti sudah dibayar, atau hanya mengandalkan anggapan “musik gratis”?
Musisi senior Lampung, Hengki Ardiansyah, menyayangkan masih banyak pelaku usaha yang memperlakukan karya cipta musik layaknya barang umum. “Kami menciptakan lagu bukan untuk jadi pajangan gratis di ruang publik. Ada keringat dan intelektualitas di balik tiap lirik dan nada,” katanya.
Hengki menilai, gerai-gerai bisnis makanan harus mulai sadar bahwa musik bukan sekadar hiburan tambahan, tapi aset kreatif yang dilindungi hukum.
Sementara itu, ahli Kekayaan Intelektual dari Universitas Lampung, Dr. Nia Saraswati, SH., MH., menilai kasus Mie Gacoan Bali bisa menjadi preseden penting di daerah. “Jangan tunggu ada laporan pidana dulu baru sadar. Pengusaha di Lampung seharusnya proaktif mengurus lisensi dan royalti bila memutar musik untuk kebutuhan komersial. Musik di ruang publik bukan konsumsi gratis,” ujar Nia.
Ia juga menyebut aparat penegak hukum perlu lebih aktif melakukan pengawasan dan edukasi. “Jangan hanya LMKN yang bergerak. Ini ranah hukum pidana yang berkaitan dengan hak ekonomi pencipta,” lanjutnya.
Di tengah euforia bisnis makanan murah dan instan, pelanggaran hak cipta seringkali luput dari pengawasan. Padahal, musik yang dinikmati pelanggan itu bukan udara bebas. Ia punya pemilik. Dan setiap nada punya harga.
Jika Lampung tak ingin mengikuti jejak Bali, aparat penegak hukum dan pemegang lisensi waralaba harus bertindak lebih dini. Jangan tunggu sampai lagu terakhir berhenti karena dibungkam jerat hukum
Editor : Hengki Utama
Sumber Berita: detikbali