Kompastuntas.com— Lampung Barat, Mantan Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Ismanto, memaparkan sejumlah persoalan dan upaya yang dilakukan dalam mengelola kawasan konservasi tersebut.
TNBBS sendiri memiliki luas 313.000 hektare, meliputi dua provinsi, yakni Provinsi Lampung dan Provinsi Bengkulu.
Di Provinsi Lampung, kawasan TNBBS meliputi Kabupaten Tanggamus, Pesisir Barat, dan Lampung Barat.
Sementara di Provinsi Bengkulu, kawasan ini masuk dalam wilayah Kabupaten Kaur. Untuk Bengkulu, luasannya sekitar 64.711 hektare, sedangkan sisanya berada di Lampung.
Awalnya, kawasan terbesar berada di Lampung Barat, namun setelah terbentuknya Kabupaten Pesisir Barat, sebagian besar kawasan taman nasional kini berada di Pesisir Barat.
Secara kelembagaan, Balai Besar TNBBS berkedudukan di Kabupaten Tanggamus. Pengelolaannya didukung oleh Bidang I di Sedayu, Kabupaten Tanggamus, dan Bidang II di Liwa, Lampung Barat, yang melibatkan penyuluh, teknisi, hingga Polisi Kehutanan (Polhut) untuk menjaga kawasan.
Terkait konflik atau interaksi negatif antara manusia dan satwa liar seperti gajah, harimau, dan beruang madu, Ismanto menyebutkan bahwa regulasi dan modal sosial sudah terbentuk hingga ke tingkat Pekon (desa). Satgas penanganan konflik telah dibentuk dari tingkat provinsi, kabupaten, hingga desa, berdasarkan SK yang berlaku sejak 2021.
Dalam penanganan konflik gajah, upaya awal dilakukan menggunakan mercon, yang kemudian dikurangi penggunaannya dengan alat jeduman. Namun karena gajah memiliki daya ingat kuat terhadap jalur migrasi, cara ini menjadi kurang efektif.
Di wilayah ini, terdapat dua kelompok besar gajah, yakni kelompok Bunga dan Jambul di wilayah Tanggamus, serta kelompok Citra di Pesisir Barat. Beberapa individu gajah dipasangi GPS collar untuk memantau pergerakan mereka secara real time.
Konflik harimau juga sempat terjadi, di mana dua individu berhasil ditangkap melalui kandang jebak. Satu harimau kini berada di kandang transit Tanggamus, sedangkan satu lagi berada di Lembah Hijau, sesuai izin lembaga konservasi.
Untuk beruang madu, konflik lebih banyak terjadi akibat kebiasaan satwa tersebut mencari makanan ke sumber bau, seperti tumpukan sampah di pasar Liwa. Hal ini menunjukkan pentingnya pengelolaan sampah yang lebih baik di sekitar kawasan.
Kerusakan Kawasan dan Upaya Pemulihan
Berdasarkan citra satelit, kawasan TNBBS telah mengalami degradasi sejak tahun 1972, dengan laju perambahan meningkat setelah reformasi tahun 2000. Dari total 313.000 hektare, sekitar 46.000 hektare kini telah menjadi area oven area (perambahan).
Kolaborasi pengamanan kawasan dilakukan bersama Artha Graha Peduli dan instansi terkait, mencakup 48.153 hektare di kawasan hutan dan 17.000 hektare di Cagar Alam Laut Kapolda.
Di Lampung Barat, dari total 55.000 hektare, sekitar 24.000 hektare kawasan telah mengalami perambahan. Solusi sempat dilakukan melalui program kemitraan konservasi dengan masyarakat, namun peraturan baru, yakni Permen LHK No. 14 Tahun 2023, membatalkan perjanjian sebelumnya.
Upaya pemulihan dilakukan dengan pembersihan tanaman invasif, reboisasi, serta patroli rutin bersama Polres dan Kodim. Saat ini, sekitar 9.000 hektare area telah diamankan untuk mendorong suksesi alami, dan hanya sekitar 120 hektare yang dilakukan reboisasi karena keterbatasan anggaran.
Dalam rangka mendukung Perpres No. 5 Tahun 2024, Balai Besar bersama Kodim dan Polres melakukan pendekatan sosial kepada masyarakat yang bermukim di dalam kawasan. Pendekatan dilakukan bertahap, dengan sosialisasi, identifikasi, dan pengumpulan data.
Di Kecamatan Suoh, dari 7.000 hektare kawasan yang diidentifikasi, sekitar 1.600 hektare telah dipetakan melalui citra satelit, ditemukan pula 1.923 unit gubuk liar.
Ismanto mengingatkan, keberhasilan menjaga TNBBS tidak hanya bergantung pada upaya konservasi di kawasan inti, tetapi juga membutuhkan sinergi lintas sektor hingga ke hutan penyangga di sekitarnya.
“Kita harus melihat hutan negara secara keseluruhan, bukan hanya kawasan konservasi. Diperlukan keterlibatan multipihak untuk menjaga kelestariannya,” ujarnya.
Sementara itu, pemulihan ekosistem ke depan akan difokuskan pada luasan 100 hektare secara bertahap, seiring koordinasi lebih lanjut dengan TNI, Polri, serta pemerintah daerah, pungkasnya. (*)
Penulis : Bayu Adinata
Editor : Hengki Padangratu