Misteri Tujuh Butir Ekstasi Menguji Konsistensi Penegakan Hukum

Avatar photo

- Penulis

Jumat, 5 September 2025 - 20:09 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Misteri Tujuh Butir Ekstasi Menguji Konsistensi Penegakan Hukum

Oleh: Dr. Dwi Putri Melati, S.H., M.H.
Dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Kompastuntas.com—Banten, kasus penggerebekan pesta narkoba yang melibatkan sejumlah pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Lampung di sebuah room karaoke Hotel Grand Mercure, Bandar Lampung, Kamis (28/8/2025), membuka ruang perdebatan publik.

Menurut pemberitaan, para pengurus HIPMI membeli 20 butir ekstasi. Namun, saat aparat masuk, hanya tersisa tujuh butir: empat berlogo transformers warna kuning biru dan tiga berlogo minion kuning.

Pertanyaan pun menyeruak: ke mana 13 butir ekstasi lainnya?

Antara kepemilikan dan penyalahgunaan, dalam kerangka hukum, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan dua jalur pemidanaan. Pasal 112 ayat (1) menjerat kepemilikan narkotika golongan I bukan tanaman, dengan ancaman pidana 4–12 tahun penjara. Sementara Pasal 127 ayat (1) huruf a menjerat penyalahgunaan untuk diri sendiri dengan ancaman maksimal 4 tahun penjara.

Di sinilah peran SEMA No. 4 Tahun 2010 sering kali menimbulkan tafsir. Surat edaran itu memberi pedoman administratif bahwa ekstasi baru bisa dianggap kepemilikan bila berjumlah minimal delapan butir.

Artinya, kasus dengan tujuh butir cenderung dialihkan ke kategori penyalahgunaan. Padahal, SEMA sejatinya bukan norma hukum primer, melainkan pedoman internal peradilan.

Baca Juga :  Antara Pengedar, Pelaku dan Korban Narkoba

Dalam kasus HIPMI Lampung, ditemukan tujuh butir ekstasi ditambah hasil tes urine positif. Berdasarkan KUHAP Pasal 1 angka 14, dua bukti tersebut sudah cukup sebagai bukti permulaan. Maka, perkara ini tetap bisa diproses pidana tanpa harus bergantung pada ambang batas delapan butir.

Rehabilitasi dan Potensi Penyalahgunaan

Perdebatan berikutnya terletak pada wacana rehabilitasi. Peraturan Bersama enam kementerian/lembaga tahun 2014 memang memberi ruang bagi pecandu dan korban penyalahgunaan untuk menjalani perawatan di lembaga rehabilitasi.

Namun, mekanismenya harus melalui Tim Asesmen Terpadu (TAT) BNN, yang berwenang menentukan peran tersangka, tingkat keparahan, dan rekomendasi rehabilitasi.

Proses asesmen ini wajib transparan, terdokumentasi resmi, dan menjadi bagian dari berkas perkara. Jika tidak, rehabilitasi akan dipersepsikan publik sebagai bentuk jalan pintas atau bahkan privilege hukum.

Baca Juga :  Pertanian Organik Masa Depan Asia Yang Terabaikan

Perlu ditekankan, rehabilitasi tidak menghapus proses hukum. Tersangka tetap harus menjalani proses penyidikan, penuntutan, hingga persidangan. Hanya saja, pelaksanaannya dapat digabung dengan program perawatan.

Konsistensi Penegakan Hukum

Kasus HIPMI Lampung ini menyingkap persoalan klasik: ketimpangan dalam penegakan hukum narkotika. Rakyat kecil kerap dijatuhi hukuman berat meski dengan barang bukti minim, sementara mereka yang memiliki akses ekonomi atau politik justru lebih mudah diarahkan ke jalur rehabilitasi.

Negara tidak boleh membiarkan hukum berjalan timpang. Keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Jika kasus ini berakhir hanya dengan rehabilitasi tanpa proses hukum yang transparan, maka pesan yang sampai ke publik adalah hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Misteri hilangnya 13 butir ekstasi itu seharusnya menjadi alarm. Bukan hanya tentang barang bukti yang lenyap, tetapi tentang bagaimana konsistensi hukum diuji di depan mata kita.

Editor : Hengki Utama

Berita Terkait

Budiyono, Intelektual Organik dari Lampung
Antara Pengedar, Pelaku dan Korban Narkoba
Nabar Sagon Tradisi Unik Ulun Lappung menyambut Sanak Tubik (kelahiran)
Pengelolaan Hama Berbasis Ekologi: Kunci Ketahanan dan Keberlanjutan Pertanian
Ketika Gula Tak Sekadar Manis: Suara Rakyat dari Bumi Tebu Lampung
Pemerhati Desak Audit Seluruh Pemegang HGU Skala Besar di Lampung, Tak Hanya SGC
Peran Strategis Kebun Raya bagi Provinsi Lampung: Pilar Konservasi, Edukasi, dan Keberlanjutan
Dr. Budiyono, Negara Tak Boleh Dikalahkan Teror Jalanan! Polisi Harus Bertindak Sekarang Juga
Berita ini 48 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 20 Oktober 2025 - 19:52 WIB

Budiyono, Intelektual Organik dari Lampung

Kamis, 11 September 2025 - 21:26 WIB

Antara Pengedar, Pelaku dan Korban Narkoba

Jumat, 5 September 2025 - 20:09 WIB

Misteri Tujuh Butir Ekstasi Menguji Konsistensi Penegakan Hukum

Minggu, 24 Agustus 2025 - 10:44 WIB

Nabar Sagon Tradisi Unik Ulun Lappung menyambut Sanak Tubik (kelahiran)

Senin, 11 Agustus 2025 - 07:27 WIB

Pengelolaan Hama Berbasis Ekologi: Kunci Ketahanan dan Keberlanjutan Pertanian

Berita Terbaru

Uncategorized

Harganas 2025, Lampung Teguhkan Komitmen Bangun Keluarga Berkualitas

Selasa, 4 Nov 2025 - 16:52 WIB