Kompastuntas.com— Bandar Lampung, di tengah upaya pemerintah menggencarkan program pemutihan pajak kendaraan bermotor (PKB), banyak warga Lampung justru mengeluhkan satu hal yang seharusnya sudah menjadi masa lalu: birokrasi manual yang mempersulit.
Bayangkan seorang warga yang telah menetap di Bandar Lampung selama lima tahun, namun tetap harus pulang ke daerah asalnya di Sumatera Barat hanya untuk mengurus mutasi kendaraan. Bukan karena keharusan hukum, tapi karena sistem pelayanan yang belum juga menyentuh era digital.
Hal inilah yang disoroti Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Provinsi Lampung, Lesty Putri Utami. Dengan nada tegas, ia menyebut kondisi tersebut sebagai bukti lemahnya kemauan lembaga pelayanan publik dalam mengikuti perkembangan zaman.
“Di era digital seperti sekarang, layanan Samsat seharusnya sudah terintegrasi secara nasional. Warga tidak boleh dipaksa menempuh perjalanan ratusan kilometer hanya demi menyesuaikan diri dengan sistem yang ketinggalan zaman,” kata Lesty dalam wawancara usai sidang paripurna, Kamis (8/5).
Lesty bukan sekadar melontarkan kritik. Ia memaparkan bahwa Fraksi PDIP telah menginstruksikan seluruh anggota DPRD—sebanyak 85 orang—untuk aktif menyosialisasikan program pemutihan pajak sejak hari pertama pelaksanaan. Tapi menurutnya, kampanye masif tanpa dukungan sistem layanan yang mudah dan cepat hanyalah jargon.
“Kalau di lapangan masyarakat tetap menemui antrean panjang, informasi simpang siur, bahkan petugas yang tidak siap, itu justru kontraproduktif. Masyarakat bisa kehilangan kepercayaan, dan ini berbahaya,” tambahnya.
Ia juga tidak segan menyentil aparat pelayanan. Alih-alih menyarankan masyarakat melapor ke kepolisian, Lesty justru menganjurkan media sosial sebagai jalur aduan.
“Kalau sudah viral, biasanya penanganan cepat. Itu fakta yang tidak bisa kita pungkiri. Pengawasan publik sekarang banyak terjadi lewat media,” ucapnya tanpa basa-basi.
Lesty juga menyoroti potensi besar dari program pemutihan ini. Dengan 3,7 juta wajib pajak yang terdata, ia memperkirakan Lampung bisa meraih pemasukan hingga Rp500 miliar dalam tiga bulan—asal dikelola dengan benar dan transparan.
Namun bagi Lesty, inti dari semua ini bukan sekadar angka. Ia mengingatkan, pajak bukan hanya soal kewajiban, tapi juga soal kepercayaan publik terhadap negara.
“Ketika masyarakat merasa dimudahkan, mereka mau bayar pajak. Tapi kalau dipersulit, disuruh bolak-balik, disuruh tanya ke sana-sini—mereka akan berhenti peduli,” pungkasnya.
Di balik angka-angka besar dan kebijakan ambisius, Lesty menyoroti satu hal yang paling mendasar: pelayanan publik yang manusiawi dan berpihak pada rakyat.
Editor : Hengki Padang Ratu