Kompasthntas.com— Jawa Timur, Duku zaman awal peradaban Indonesia ada Kerajaan Malowopati di Kecamatan Kalitidu dengan Rajanya bernama Anglingdharmo. Saat itu Kota Bojonegoro belum bernama Bojonegoro. bahkan belum punya nama.
Namun di tengah-tengah kota itu, ada sebuah pasar kecil yang bernama Bombok (Sekarang perempatan barat Samsat). Pasar kecil itu ada di sela-sela pohon asam yang jumlahnya cukup banyak. Dulu, belum ada rumah di situ. Uniknya, semua yang berjualan di pasar itu perempuan dan biasa dipanggil embok-embok yang akhirnya disebut dengan nama pasar Embok-Embok atau Pasar Bombok.
Ada dua embok-embok yang terkenal cantik. Uniknya, keduanya berstatus janda muda dan keduanya juga berjualan nasi pecel yang rasanya cukup enak dan terkenal sampai kemana-mana. Orang-orang desa yang ke Pasar Bombok sudah bisa dipastikan akan membeli nasi pecel. Di amping itu juga ingin melihat dan berkenalan dengan dua embok-embok yang cantik itu. Embok yang satu bernama Anggraeni dan embok yang satunya lagi bernama Ayodhia. nama-nama yang berbau agama Hindu.
“Mau ke mana?” begitu orang-orang desa bertanya ke temannya.
“Mau ke Pasar Bombok” jawab orang-orang yang mau ke pasar tersebut.
Salah satu laki-laki yang betul-betul naksir embok-embok itu namanya Anggoro. Dengan alasan membeli nasi pecel, Anggoro yang tampan dan masih bujangan itupun melakukan pendekatan. karena keduanya cantik, maka Anggoropun bingung. Apalagi, kedua janda muda itu tidak punya anak. Akhirnya, keduanyapun dipacari.
Sikap Anggora yang demikian membuat dua janda itu sering cemburu.
“Mas Goro naksir saya, lho…” kata Anggraeni ke Ayodhia.
“Nggak, bisa. Mas Goro yang naksir saya. Kemarin ke rumah saya, kok,” balas Ayodhia. Mereka berduapun kadang-kadang bertengkar merebutkan Goro yang tampan itu.
Namun, akhirnya Goro mengambil keputusan untuk menikahi Ayodhia. hal ini membuat Anggraeni sakit hati.
“Awas! Hati-hati kamu,” ancam Anggraeni ke Ayodhia. Dan Anggraeni betul-betul merealisasikan ancamannya. Diapun ke Buyuddalem untuk menemui seorang dukun yang cukup terkenal. hasilnya, enam bulan kemudian, Ayodhiapun bercerai dengan Goro.
Dua bulan kemudian, Goropun terkena pelet Anggraeni dan akhirnya menikah dengan Anggraeni. Dan kemudian orang-orang desa yang pergi ke Pasar Bombokpun juga sering berkata akan pergi ke bojone Goro (isterinya Goro). Alkhirnya, muncullah sebutan kota itu dengan nama BojoneGoro atau Bojonegoro.
Satu hal, akhirnya terungkap, ternyata Anggoro, Anggraeni dan Ayodhia masih keturunan dari kerajaan Mojopahit. Pantaslah namanya bagus. Bukan Samijan, Suminem ataupun Suminah sebagai lazimnya nama-nama orang desa.
Pernikahan antara Goro dan Anggraenipun ternyata tidak berlangsung lama. Ayodhiapun akhirnya ke dukun yang ada di Buyuddalem juga. Meminta bantuan agar Anggraeni bercerai dari Anggoro. Dan benar, beberapa bulan kemudian Anggraenipun bercerai dengan Anggoro.
“Kabarnya, bojone Goro bercerai ya?” begitulah pergunjingan di masyarakat saat itu.
Kabar perceraian itupun dengan mudah tersebar dari mulut ke mulut. Maklum, saat itu kota itu penduduknya masih sedikit. Jadi, ada berita sedikit saja, orang-orangpun akan mendengarnya.
Anggoro sendiripun sebenarnya juga heran, kenapa kok pernikahannya tidak bisa berlangsung lama. padahal, kedua janda muda itu cantik. Anggoro merasakan ada sesuatu yang aneh, sebab perceraiannya dirasakannya mengandung kejanggalan.
Kali ini, Anggorolah yang datang ke dukun yang ada di Buyuddalem. Dukun yang pernah dimanfaatkan Anggraeni dan Ayodhia. Anggoropun menceritakan percerainnya ke dukun itu yang biasa dipanggil Mbah Buyud.
“Oh, perceraian itu terjadi atas permintaan Anggraeni dan Ayodhia,” kata Mbah Buyud secara jujur. Tentu, Goro menjadi emosional mendengar pengakuan dukun itu. Diapun kemudian berjalan kaki menuju ke Pasar Bombok untuk menemui Anggraeni dan Ayodhia.
“Oh, jadi kalian berdua telah main dukun, ya?” Goro mulai marah ke kedua janda muda itu. Semula kedua janda itu saling membantah. Orang-orang di Pasar Bombok itupun berkerumun ingin tahu pertengkaran antara Goro dengan dua janda itu.
Akhirnya, Goro yang masih keturunan Mojopahit itupun bersumpah.
“ Saya bersumpah, menyumpahi kalian berdua. Jika suatu saat nanti kamu, atau siapa saja perempuan di kota ini menikah dengan laki-laki dari kota ini juga, akan berakhir dengan status janda!”. Sumpah ini didengar semua embok-embok yang ada di pasar itu.
Ternyata, sumpah Goro terbukti. Satu persatu perempuan Kota Bojonegoro yang menikah dengan pria yang asalnya dari Bojonegoro juga, ternyata pernikahannya berlangsung tidak lama. Itulah sebabnya, sejak saat itu angka perceraian di kota itu sangat tinggi. Hampir tiap bulan selalu terjadi puluhan perceraian.
Itulah asal mula nama Kota Bojonegoro dan asal mula nama Bombok yang sekarang berupa deretan toko yang berdiri di dekat perempatan lampu lalu lintas.
Itulah asal usul perceraian yang banyak terjadi di kota Bojonegoro. Di kota ini, dengan mudah kita menemukan janda-janda muda yang berwajah cantik. Korban sumpah yang diucapkan Goro.
Catatan:
Cerpen ini merupakan cerita fiktif.
Penulis : Hariyanto Imadha
Editor : Hengk Padangratu