Pertanian Organik Masa Depan Asia Yang Terabaikan
Oleh Novita-Koordinator Wilayah Jaringan Kearifan Tradisional Indonesia (JKTI) Lampung dan anggota Ikaperta Unila
Kompastuntas.com— Raja Basa, tergelitik saat melihat tik tok yang bercerita tentang Bill Gate beli lahan pertanian yang lebih luas dari Jakarta, Mark Zuckerberg geluti ternak sapi, David Beckham membangun brand makanan sehat dan Jack Ma buka usaha pertanian organic. Mereka para milyader lari ke sector paling dasar yaitu makanan, ternak dan tanaman padahal mereka saat ini diposisi sangat berpengaruh terhadap perkembangan teknologi. Alasannya adalah makanan, ternak dan tanaman tidak bisa tergantikan oleh teknologi. Karena para ahli manajemen, akuntasi, desain, film, pemasaran, semua akan tergantikan dengan teknologi AI atau robot.
Menilik inisiatif Jack Ma seorang pebisnis berkebangsaan Tiongkok, membuka usaha pertanian organic menjadi pertanyaan saya. Apalagi latar belakang orang tuanya bukan petani tetapi pemusik dan pendongeng. Beliau lebih dikenal sebagai pendiri sekaligus Chairman Eksekutif dari Alibaba Group, perusahaan e-commerce terbesar di Tiongkok. Jika tidak memiliki jiwa bisnis yang tajam, milyader ini tidak akan mengundurkan diri dari dewan direksi Alibaba pada tahun 2019. Pebisnis yang memiliki pengaruh urutan ke-22 di dunia ini, akan mampu menjadi boss Alibaba Group. Rupanya pertimbangan beliau membuka usaha pertanian organik adalah pertanian merupakan masa depan Asia, mengatur stabilitas ekonomi serta sosial dunia, yang akan bergantung pada hasil pangan. Tetapi mengapa pilihan jatuh pada pertanian organic? Karena pertanian organik menekankan pada praktik pertanian yang ramah lingkungan dan menghasilkan produk yang lebih sehat serta permintaan akan produk organik terus meningkat.
Bagaimana dengan Indonesia sendiri, apakah permintaan produk organic juga meningkat? Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (ORPP) BRIN, Puji Lestari mengatakan “Permintaan produk organik terus meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran konsumen”. Begitu juga potensi pertanian organik di Lampung menunjukkan potensi kuat, dengan dukungan regulasi, institusi pendidikan, dan kelompok petani aktif.
Dari sisi regulasi pemerintah daerah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Lampung Nomor 5 Tahun 2022 tentang Sistem Pertanian Organik. Ada 14 tujuan dibuat perda tersebut, beberapa diantaranya adalah merevitalisasi lahan pertanian non-organik ke lahan pertanian organic sehingga luasan lahan pertanian organik bertambah, memberikan jaminan penyediaan produk pertanian terutama bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan konsumen serta tidak merusak lingkungan.
Berdasarkan kegiatan yang mendukung Pertanian Organik yang telah dilaksanakan Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung Tahun 2020 – 2023, luasan lahan pertanian organik yang telah sertifikasi sebesar 41,75 Ha atau sebesar 11,5% dari Luas Baku Sawah Provinsi Lampung 361.698 Ha.
Ini masih kecil dibandingkan potensi besar yang ada walaupun sudah mendapat dukungan dari pemerintah. Apalagi dari institusi Pendidikan juga memberi dukungan yang nyata. Dari laman Polinela, Ketua Training Center menyampaikan bahwa Polinela telah memiliki Training Center. Training Center Polinela dan TEFA Polinela Organic Farm berkomitmen untuk terus memberikan pendampingan dan pelatihan kepada para petani serta kelompok masyarakat yang ingin mengembangkan pertanian berkelanjutan
Tetapi sayangnya dukungan pemerintah, permintaan yang meningkat, potensi yang besar tidak diimbangi dengan peningkatan petani melakukan pertanian organik.
Masih banyak petani di Indonesia dan di Lampung menggantungkan pola pertaniannya dengan pupuk kimia sintetis, pestisida serta benih varietas unggul hasil rekayasa genetic. Mengapa itu bisa terjadi?
Saat ini petani di Indonesia lebih banyak memilih pola pertanian non organic, karena hasil panennya lebih banyak serta tidak terlalu repot dalam penyediaan pupuk dan pestisida termasuk cara mengaplikasikannya. Padahal zaman dahulu, saat buyut dan kakek serta nenek kita bertani, mereka tidak merasa repot untuk menyiapkan alat dan bahan mulai dari sebelum tanam, tanam hingga panen. Tetapi di era orang tua kita menjadi petani, pola fikir mereka mulai dirubah. Perubahan pola fikir itu dibentuk saat Indonesia sedang mengembangkan swasembada pangan pada tahun 1980 – 1989. Swasembada pangan, diawali dengan adanya revolusi hijau di dunia mulai dari tahun 1950 – 1980.
Proses revolusi hijau atau swasembada pangan di Indonesia menerapkan 4 hal penting yaitu sistem irigasi untuk penyedia air, penggunaan pupuk secara optimal, penggunaan pestisida berdasarkan tingkat serangan hama, dan penggunaan bahan tanam berkualitas seperti varietas unggul. Dan pada tahun 1984, Indonesia menjadi negara swasembada pangan besar dunia.
Euforia kebanggaan itu tidak bertahan lama. Dampak dari program itu, mengakibatkan masalah lingkungan hingga terjadi degradasi lahan. Lahan-lahan pertanian mulai kekurangan unsur hara, jika tidak diberi pupuk kimia sintetis, maka produksi tanaman akan turun bahkan tidak panen. Tanah-tanah menjadi tandus, karena pemberian pupuk kimia sintetis berlebih. Semakin hari kebutuhan pupuk petani tidak berkurang tetapi semakin meningkat.
Ledakan hama juga meningkat tajam, akibat resistensi hama dan pathogen terhadap pestisida. Untuk menanggulanginya diperlukan penggunaan pestisida yang lebih banyak dan lebih kuat. Akibatnya tidak hanya hama saja yang mati, tetapi predator, burung, serta ikan dan hewan air ikut mati karena pestisida masuk ke perairan. Bayangkan, jika hewan-hewan itu saja bisa mati, bagaimana tubuh kita yang memakan tanaman yang selalu disemprot pestisida.
Bahan-bahan beracun yang masuk ke dalam tanaman, akan terakumulasi dalam tubuh kita.
Kondisi ini semakin diperparah dengan munculnya kapitalisme di sector pertanian. Benih-benih unggul yang ditanam, sudah tidak bisa dipakai untuk ditanam lagi. Mereka telah membuat benih-benih tersebut mandul atau hasilnya akan kurang baik jika ditanam lagi.
Sehingga setiap kali menanam, jika ingin mendapatkan hasil yang bagus, petani akan selalu membeli benih. Salah satu contoh sayuran yang saya coba adalah menanam kangkung cabut. Setelah siap panen, kangkung tersebut tidak dicabut, tetapi saya petik. Harapannya, kangkung akan terus tumbuh, seperti kangkung air. Rupanya setelah tiga kali petik atau panen, kangkung tersebut keras dan tidak enak dimakan.
Sehingga memaksa saya menanam kembali dari biji yang dibeli di toko pertanian. Sama halnya dengan padi. Jika ada benih varietas unggul ditanam ulang, maka hasil padi tidak seragam. Ada yang kecil, tinggi, berwarna hitam, dan bermacam-macam.
Hal itu terjadi karena benih padi hibrida memiliki sifat heterozigot, yang berarti jika ditanam kembali, keturunannya akan mengalami segregasi (terpisah-pisah) sehingga tidak akan seragam dalam sifat dan hasil panennya.
Program revolusi hijau dunia mendapat kritik karena dianggap merusak lingkungan akibat penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan begitu juga swasembada pangan Indonesia.
Ketika buku karya Rachel Carson berjudul Silent spring terbit pada tahun 1962, menjadi panggung gerakan lingkungan. Buku Silent Spring memakan waktu 4 tahun penelitian bagi Carson untuk menyelesaikannya. Buku itu dengan cermat menggambarkan bagaimana DDT memasuki rantai makanan dan terakumulasi dalam jaringan lemak hewan, termasuk manusia, dan menyebabkan kanker serta kerusakan genetic. Satu kali aplikasi pada tanaman, tulisnya membunuh serangga selama berminggu-minggu dan berbulan-bulan, bukan hanya serangga yang menjadi sasaran, tetapi juga serangga lainnya yang tak terhitung jumlahnya dan tetap beracun di lingkungan bahkan setelah diencerkan oleh air hujan.
Carson menyimpulkan bahwa DDT dan pestisida lainnya telah membahayakan hewan dan mencemari pasokan makanan dunia.
Begitu juga penggunaan pupuk urea, sudah mulai dikritisi oleh penggiat-penggiat lingkungan terutama yang konsen tentang perubahan iklim. Pupuk urea ini bersifat mudah menguap jika terkena panas. Anjuran aplikasi dengan cara ditanam atau ditebar saat matahari tidak terik tidak banyak diikuti oleh petani. Banyak petani, terutama petani padi yang menebar pupuk diatas pukul 09.00 pagi. Dimana matahari sudah mulai terik. Efeknya, pupuk urea ini menguap menjadi nitrogen dioksida (NO2). NO2 adalah gas rumah kaca yang mampu perangkap panas 298 kali dibandingkan karbon dioksida. Disaat dunia sedang berupaya menurunkan emisi gas rumah kaca, petani memberikan sumbangan yang besar terhadap emisi rumah kaca. Semakin tebal gas rumah kaca di atmosfer, semakin sulit sinar infra merah yang masuk ke bumi untuk keluar. Ini yang mengakibatkan bumi kita semain panas, dan terjadi pemanasan global.
Tidak ada kata terlambat untuk memulai hal baik. Dengan melakukan pertanian organic, kita membantu menyediakan makanan sehat, lingkungan lestari dan menurunkan kapitalisme di bidang pertanian. Memang bukan hal mudah untuk merubah pola fikir ini ke petani, apalagi diawal penerapan pertanian organic akan banyak tantangan dengan waktu sekitar 1 – 3 tahun. Petani mungkin menghadapi tantangan teknis dan pasar selama masa transisi, seperti penurunan hasil panen sementara, biaya produksi yang lebih tinggi, dan kesulitan dalam mencari pasar untuk produk organic. Strategi yang bisa dilakukan dengan memulai peralihan secara bertahap, misalnya dengan memulai dari sebagian lahan, atau dengan menerapkan praktik organik pada jenis tanaman tertentu terlebih dahulu.
Dengan kata lain, petani bisa memulai dengan semi organic. Hingga kondisi tanah mulai subur, baru petani benar-benar bisa menerapkan pertanian organik. Sumber daya alam Indonesia sangat kaya untuk bisa mempercepat pemulihan kesuburan tanah. Ada kotoran ternak untuk pupuk dan juga berbagai jenis tanaman yang bisa menjadi pupuk dan biopestisida. Asupan organic yang banyak akan mempercepat kesuburan tanah. Cara pembuatan pupuk organic dan pestisida sudah banyak dibuku, internet, modul-modul dan sharing pengalaman untuk bisa belajar pertanian organic.
Para petani bisa belajar pada petani Lampung Timur ke Kelompok Tani Adem Ayem di RT 12, RW 06, Dusun 2 Desa Untoro Kecamatan Trimurjo yang telah mengembangkan pertanian organik sejak tahun 2011, atau petani Lembah Suoh di Kabupaten Lampung Barat, Kecamatan Suoh, desa Tugu Ratu yang sudah memiliki sertifikasi organic.
Di dalam ayat Al-Qur’an surat Al-Mukminun ayat 12, “Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah”. Hal ini menunjukkan bahwa manusia berasal dari unsur-unsur dasar bumi, yang beberapa sifat sama dengan tanah.
Jika didalam tubuh manusia banyak terdapat racun, akibatnya akan sakit. Begitu juga bumi dan tanah, jika banyak asupan kimia sintetis akan menyebabkan tanah sakit dengan tampak yang tandus dan terdegradasi . Tubuh manusia dan bumi bukan tempat menampungnya racun. Membuat tubuh sehat, berarti mewujudkan bumi yang lestari.
Editor : Hengki Utama