Revolusi Sistem Tanam Kopi Untuk Peningkatan Produktivitas
Oleh: Irwansyah, S.P., Penggiat Kopi Lampung & Anggota Ikaperta Unila
Kompastuntas.com— Bandar Lampung, kopi adalah salah satu komoditas perkebunan paling tua di usahakan secara komersil di nusantara. Kopi diperkenalkan di nusantara oleh kolonial Belanda sejak ahir abad 17 (tahun 1696 – 1699) dengan mendatangkan bibir dari afrika utara jenis arabica.
Perkebunan kopi milik pemerintah kolonial semakin berkembang di luar Jawa sejak 1750-an, hingga kopi nusantara merajai pasar kopi dunia. Pada tahun 1876 penyakit karat daun menghancurkan nyaris seluruh perkebunan kopi di Nusantara. Untuk memulihkan perkebunan kopinya, pemerintah kolonial mengembangkan jenis kopi Robusta yang lebih tahan penyakit. Sampai saat ini jenis kopi ini mendominasi perkebunan kopi di Indonesia.
Pengalaman ratusan tahun budidaya kopi Arabica para pengusaha perkebunan kopi kolonial Belanda yang cukup mumpuni pada masanya diterapkan pada perkebunan kopi Robusta. Banyak penelitian-penelitian tentang kopi dilakukan oleh pemerintah kolonial. Namun penelitian yang dilakukan banyak mencakup morfologi dan penyakit tanaman kopi. Jarang sekali dilakukan penelitian Agronomi tanaman kopi. Tak mengherankan bila literatur literatur perkopian di Indonesia masih terasa aroma kolonial.
Pada petani kopi tradisional di Sumatera misalnya, pemakaian pupuk pada tanaman masih belum membudaya. Pola tanam yang dipakai petani kopi juga merupakan warisan turun-temurun dari nenek moyang. Hingga saat ini sistem budidaya kopi di Indonesia mayoritas masih menggunakan sistem warisan kolonial Belanda. Misalnya sistem penanaman kopi di Indonesia selama ini menggunakan jarak tanam 2×2 meter bahkan 3×2 meter sehingga didapat jumlah populasi tanaman per hektar 1600 hingga 2500 batang.
Jarak tanam ini telah di terapkan sejak awal penanaman kopi di Indonesia awal abad 19 hingga sekarang. Penanaman kopi juga selalu di sertai dengan penanaman pohon penaung dengan maksud untuk kelestarian tanah dan umur tanaman kopi yang lebih panjang (30 tahun). Sementara produktivitas kopi per hektar di indonesia dari tahun ketahun berkisar di angka rata rata 500kg hingga 800. Bandingkan dengan negara Brazil yang mencapai 2500kg per hektar untuk kopi arabica dan 6000kg per hektar untuk robusta.
Negara Brazil telah mengalami peningkatan produktivitas kopi per hektar dengan sangat pesat sejak menerapkan pola tanam rapat yaitu 2,5x1m atau 3×0,5m sehingga Pada sistem tanam rapat per hektar lahan dapat memuat 4000 hingga 7000 tanaman.
Dengan sistem rapat ini fungsi pohon penaung tergantikan oleh tanaman kopi itu sendiri. Saling menaungi antar pohon dalam satu barisan. Dalam sistem produksi kopi dengan sistem rapat, ciri utamanya adalah hanya pohon kopi yang akan ditanam di lahan kopi tanpa ada spesies tanaman lain yang terlibat dalam perkebunan, sehingga sinar matahari menyinari seluruh permukaan tanaman kopi. Diperkirakan bahwa pohon kopi, untuk memberikan hasil maksimalnya membutuhkan antara 1.600 dan 2000 jam sinar matahari per tahun atau setara 4,5 dan 5 jam sinar matahari per hari.
Para petani kopi di negara Brazil mayoritas telah menerapkan pola tanam pagar ini. Hasilnya Brazil dapat menempatkan sebagai negara penghasil kopi terbesar di dunia sejak puluhan tahun lalu. Bahkan 40% produksi kopi dunia berasal dari negara ini.
Sementara pada sistem tanam kopi di Indonesia, masih setia menerapkan penanaman pola lama. Sistem lama warisan kolonial ini sampai sekarang tak banyak perubahan yang berarti. Jarak tanam dan pohon naungan seakan dianggap sesuatu yang mutlak harus diterapkan untuk mendapatkan produksi yang berkualitas. Dengan bertahan pada pola tanam lama ini produktivitas lahan kopi Indonesia hanya 600kg/hektar, tertinggal jauh dari negara Brazil yang mencapai 2,5ton/hektar.
Peningkatan produktivitas lahan perkebunan kopi harus segera diterapkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani kopi Indonesia. Cara yang paling tepat dan cepat adalah dengan menerapkan dan menyebarluaskan pola tanam kopi sistem pagar kepada petani kopi Indonesia.
Ada beberapa keuntungan tanam kopi sistem pagar
(1) Peningkatan Produktivitas
Dengan menanam lebih banyak tanaman per hektar, produktivitas lahan bisa meningkat secara signifikan. Ini memungkinkan petani mendapatkan hasil panen yang lebih tinggi dalam ruang yang sama.
(2) Efisiensi Penggunaan Lahan
Sistem ini sangat berguna di daerah di mana lahan terbatas atau mahal, karena petani dapat memaksimalkan penggunaan lahan mereka.
(3) Pengurangan Erosi Tanah
Karena tanaman kopi ditanam lebih rapat, akar-akar tanaman dapat lebih baik menahan tanah, yang membantu mengurangi risiko erosi, terutama di daerah perbukitan.
Kekurangan Tanam Kopi dengan Jarak pagar
(1) Kebutuhan Nutrisi Lebih Tinggi
Karena banyak tanaman tumbuh berdekatan, mereka akan bersaing untuk mendapatkan nutrisi dari tanah. Oleh karena itu, pemupukan yang lebih intensif diperlukan untuk memastikan setiap tanaman mendapatkan nutrisi yang cukup.
(2) Pengelolaan Hama dan Penyakit Lebih Sulit
Jarak tanam yang rapat dapat meningkatkan kelembapan di antara tanaman, yang bisa menjadi lingkungan yang ideal bagi perkembangan hama dan penyakit. Pengendalian hama dan penyakit menjadi lebih rumit dan memerlukan perhatian ekstra.
(3) Biaya Awal Lebih Tinggi
Penanaman dengan jarak rapat biasanya memerlukan lebih banyak bibit kopi, serta investasi lebih besar dalam pemeliharaan seperti irigasi, pemupukan, dan pengendalian hama, yang dapat meningkatkan biaya awal.
Penanaman kopi dengan jarak rapat adalah metode intensif yang bertujuan untuk memaksimalkan produktivitas lahan tanpa perluasan lahan.
Penerapan sistem pagar ini tentu juga akan meningkatkan kesejahteraan petani kopi indonesia.
Editor : Cholik Coy