JKEL Desak Menteri Kehutanan Evaluasi Kinerja Pejabat Konservasi dan Cabut Izin Lembah Hijau
Kompastuntas.com— Bandar Lampung, desakan agar Menteri Kehutanan mengevaluasi pejabat konservasi di Lampung dan Bengkulu menguat, menyusul kematian tiga Harimau Sumatera dalam dua tahun terakhir.
Jaring Kelola Ekosistem Lampung (JKEL) menuding lemahnya pengawasan serta dugaan upaya menutup-nutupi fakta kematian satwa dilindungi di kawasan konservasi.
Dalam surat bernomor 047/JKEL/Lampung/XI/2025 yang dikirim ke Menteri Kehutanan c.q Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), JKEL menyebut Kepala Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu telah gagal menjalankan fungsi pengawasan terhadap keselamatan satwa liar, terutama Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae).
“Sejak Kepala TNBBS masih merangkap jabatan sebagai Kepala BKSDA Bengkulu, sudah tiga ekor Harimau Sumatera yang mati dalam pengawasan mereka.
Dua di antaranya berasal dari kebun binatang Solo dan Solok, dan keduanya tidak pernah dijelaskan secara terbuka ke publik,” kata Koordinator JKEL, Ir. Almuhery Ali Paksi, dalam keterangan tertulis yang diterima, Minggu, 9 November 2025.
JKEL menilai penanganan konflik satwa liar di kawasan konservasi cenderung tidak transparan. Kasus terakhir, kematian Harimau Sumatera bernama Bakas di Lembah Hijau, menurut mereka juga sempat ditutupi dari publik.
“Ini bukan sekadar kelalaian administratif. Upaya merahasiakan kematian satwa dilindungi adalah bentuk pembodohan publik dan bukti gagalnya tata kelola konservasi,” ujar Almuhery.
Desakan Evaluasi dan Pencabutan Izin Lembah Hijau
Dalam pernyataan resminya, JKEL mendesak Kementerian Kehutanan melalui Dirjen KSDAE segera menurunkan tim independen untuk mengevaluasi kinerja pejabat konservasi, sekaligus meninjau ulang izin operasional Lembah Hijau, tempat di mana Harimau Bakas dipelihara sebelum mati.
JKEL menilai Lembah Hijau selama ini lebih berfungsi sebagai tempat hiburan rakyat daripada lembaga konservasi yang sesungguhnya. Mereka menemukan indikasi banyak satwa dalam kondisi tidak sehat dan tidak terurus dengan baik.
“Kondisi satwa di sana mengkhawatirkan. Banyak yang mengalami stunting, kurus, dan tidak mendapatkan pakan berkualitas.
Dengan jumlah pengunjung yang menurun, kami meragukan kemampuan lembaga itu memenuhi standar kesejahteraan satwa, terutama harimau dan gajah,” kata Almuhery.
Sorotan atas Kinerja Konservasi di Daerah
Kematian tiga Harimau Sumatera ini menambah daftar panjang persoalan pengelolaan konservasi di wilayah Sumatera bagian selatan. Padahal, Harimau Sumatera merupakan spesies kunci yang menjadi indikator kesehatan ekosistem hutan tropis.
JKEL menegaskan bahwa negara tidak boleh abai terhadap tanggung jawab melindungi satwa langka yang tersisa. Mereka menilai sikap diam pejabat konservasi justru memperburuk citra pengelolaan satwa di Indonesia.
“Menjaga Harimau Sumatera berarti menjaga kehormatan bangsa di mata dunia. Kementerian Kehutanan harus tegas terhadap pejabat dan lembaga yang lalai,” kata Almuhery menutup pernyataannya.
JKEL berharap langkah cepat dari pemerintah bisa mencegah terulangnya kasus kematian satwa langka di lembaga konservasi yang justru seharusnya menjadi tempat perlindungan terakhir.
Editor : Hengki Utama

“Kondisi satwa di sana mengkhawatirkan. Banyak yang mengalami stunting, kurus, dan tidak mendapatkan pakan berkualitas.







